Monday, May 6, 2013

Zakat untuk Civil Society



Ahmad Najib Burhani*

Selain dikenal sebagai bulan untuk berpuasa, Ramadhan juga menjadi bulan untuk berzakat. Dari laporan keuangan yang dikeluarkan Dompet Dhuafa (DD), misalnya, tercatat lebih dari 50 persen total dana yang mereka kumpulkan dalam satu tahun itu terjadi pada bulan Ramadhan. Jika dalam setahun DD berhasil mengumpulkan zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf (Ziswah) senilai 22 milyar rupiah, maka lebih dari 11 milyar rupiah transaksi Ziswah itu terjadi di bulan ini. Angka ini belum termasuk jumlah dana yang diterima oleh LAZ (Lembaga Amil Zakat), BAZ (Badan Amil Zakat), dan organisasi pengelola zakat lainnya. Inilah, diantaranya, yang menyebabkan maraknya iklan zakat di berbagai media massa saat ini.

Potensi Ziswah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia memang cukup besar. Menurut Zaim Saidi, potensi itu bisa mencapai Rp. 7,5 triliun pertahun. Dilihat dari rate of giving (kebiasaan memberi), prosentase yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah terbesar di Asia, bahkan lebih besar dari Amerika, Jepang, Jerman, dan Prancis.(2003: 278-292) Persoalan yang sangat penting dipikirkan saat ini adalah bagaimana cara untuk memanfaatkan potensi yang cukup besar itu.

Memang, dari potensi Rp.7,5 triliun itu, dana yang berhasil dimobilisasi secara terorganisir baru sekitar Rp. 1 triliun pertahun. Namun jumlah ini jelas sudah sangat besar. Azyumardi Azra, Rektor UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta, pernah menyatakan bahwa jika dana Ziswah itu bisa dimanfaatkan dengan baik, maka LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Indonesia yang selama ini sangat bergantung pada pemberian dana dari luar negeri akan bisa bersikap lebih independen dengan cara melepaskan ketergantungannya pada lembaga-lembaga donor asing.(Republika, 17/6)

Pola Pemanfaatan Dana Ziswah
Dalam pemahaman dan praktek tradisional, pemanfaatan dana zakat, infak, dan sadaqah biasanya ditekankan pada fungsi relief atau diberikan langsung dalam bentuk uang dan makanan. Sementara wakaf, biasanya hanya dalam bentuk tanah dan digunakan untuk pembangunan masjid atau madrasah. Delapan kelompok yang berhak menerima zakat (ashnaf) yang terdiri dari fakir, miskin, amil, gharim (orang yang berhutang), muallaf (orang yang baru masuk Islam), ibnu sabil (musafir), sabilillah (untuk perjuangan di jalan Allah), dan budak biasanya menerima langsung bantuan tanpa tersistematisasikan dengan baik.

Pola pengelolaan dan pemanfaatan Ziswah yang lebih maju dari pola tradisional itu adalah apa yang dilakukan oleh beberapa LAZ dan BAZ. Satu kelebihan yang sering diandalkan LAZ dan BAZ terhadap pola tradisional adalah masalah transparansi. LAZ dan BAZ membuka diri untuk diaudit oleh akuntan publik. Mereka juga secara rutin mengumumkan penerimaan dan pemanfaatan Ziswah kepada publik melalui media massa, website, dan sebagainya. Transparansi inilah yang sering alfa dalam pola-pola Ziswah tradisional.

Namun demikian, dari segi pemanfaatan Ziswah, sering dinyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh LAZ dan BAZ itu sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan pola-pola tradisional. Pola umum dalam penyaluran Ziswah yang dilakukan oleh LAZ dan BAZ masih berkutat dalam bentuk karitas (charity) dan orientasi mercusuar.

Distribusi Ziswah dengan pola karitas adalah menekankan fungsi Ziswah untuk membantu orang yang tak berdaya dalam bentuk yang paling sederhana, seperti meringankan penderitaannya dengan memberi makanan, menyekolahkan, dan membantu pengobatan. Sifat dari bantuan ini adalah relief (mengurangi penderitaan), bukan release (menghilangkan penderitaan). Sasaran dari distribusi Ziswah model ini adalah individu. Indikator keberhasilannya adalah seberapa banyak jumlah individu yang ditolong. Program-program yang dikembangkan oleh Lazis dan Bazis, barangkali, hampir seluruhnya mengikui pola ini. Ambulance keliling gratis, layanan kesehatan cuma-cuma,  pembangunan WC umum, pemberian makanan, dan sejenisnya. Hasil dari distribusi Ziswah model ini bersifat sementara. Setelah menerima bantuan, orang-orang yang lemah itu akan mudah sekali kembali terjatuh dalam kesengsaraannya.

Tuntutan transparansi adalah positif. Namun tuntutan ini seringkali menjebak pengelola Ziswah untuk berpikir dan berorientasi mercusuar. Pernah dalam suatu pelantikan pimpinan organisasi pengelola zakat, dalam pidatonya ketua terpilih organisasi itu mengungkapkan salah satu targetnya adalah menciptakan program atau bangunan mercusuar dari dana Ziswah, sehingga ada bukti konkrit pemanfaatan Ziswah, umat atau muzakki (pemberi zakat) bisa melihat hasil dari dana yang mereka keluarkan. Banyak pengelola zakat yang saat ini berlomba untuk memiliki bangunan besar atau program mercusuar dari dana Ziswah.

Dari Karitas Menuju Pemberdayaan
Pada beberapa aspek, pola karitas dan orientasi mercusuar bisa dibenarkan. Misalnya, dilihat pada masih banyaknya rakyat miskin yang akan mati bila tak diberi bantuan yang bersifat segera. Dari segi muzakki, banyak yang masih menuntut bukti kasat mata dari dana Ziswah yang mereka keluarkan. Hanya saja, pola ini tidak bisa dipertahankan terus-menerus. Pola karitas harus segera didampingi dengan pola pemberdayaan. Asumsinya, kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat itu disebabkan oleh tak terberdayakannya potensi mereka. Masyarakat menjadi miskin karena mereka tak memiliki keahlian untuk bekerja, tak terlatih, dan tak memiliki modal. Untuk itu, harta Ziswah harus digunakan untuk memberdayakan masyarakat dalam bentuk pendidikan, pelatihan, pemberian modal, dan pendampingan. Sasaran yang dikehendaki dari pola ini adalah transformasi sosial.

Pola pemberdayaan jauh lebih sulit dibanding pola karitas. Di samping itu, ia sangat rentan terhadap kegagalan. Pola karitas lebih mudah ditangani dan cenderung terlihat sukses. Hasil dari pola karitas bersifat tangible, bisa dilihat dalam waktu cepat dan nyata. Transformasi sosial membutuhkan dana besar, waktu lama, dan hasilnya tidak bisa dilihat secara nyata. Memang ada indikator keberhasilan atau kegagalan, indikator perubahan sikap masyarakat, serta ukuran lain untuk melihat dampak dari pemberdayaan. Hanya, bila dibandingkan dengan upaya non-pemberdayaan, hasilnya jauh berbeda. Dana sebesar Rp. 100 juta yang diberikan kepada masyarakat untuk pembangunan masjid akan bisa dilihat hasilnya secara nyata dan cepat. Dana dalam jumlah sama atau bahkan 10 kali lipat belum tentu berhasil memberdayakan 10 orang.

Pola pemberdayaan adalah satu sekuen yang wajib diikuti setelah melaksanakan pola pertama jika ingin menggunakan dana Ziswah secara lebih bermanfaat. Untuk ini, di samping perlu kerja keras, juga perlu keberanian teologis. Artinya, perlu dekonstruksi dan rekonstruksi pemaknaan terhadap ashnaf, amil (pengelola zakat), dan teks-teks kitab suci lain. Amil bukan sekadar berfungsi sebagai robot yang menyalurkan Ziswah orang kaya kepada orang miskin, tapi ia harus kreatif dalam mendistribusikan. Amil harus berijtihad dengan menggunakan dana Ziswah untuk transformasi sosial dan berani salah dalam berijtihad.

Memang, ada tahapan lebih lanjut dari sekadar pemberdayaan masyarakat, seperti penggunaan Ziswah untuk social movement. Hanya saja, ini adalah tahap yang sudah cukup jauh. Merupakan prestasi besar bila pola karitas yang ada di Indonesia saat ini bisa berkembang menjadi pola pemberdayaan. Akhirnya, jika ingin melihat harta Ziswah lebih bermanfaat dari apa yang terjadi saat ini, maka sebetulnya tugas pengumpulan itu jauh lebih mudah daripada pendistribusian, bertanggungjawab kepada muzakki itu jauh lebih mudah daripada bertanggungjawab kepada penerima (mustahiq).
oo0oo

No comments:

Post a Comment