Sunday, May 12, 2013

Antara Zakat Politik dan Zakat Kemanusiaan


Oleh Ahmad Najib Burhani*


Sebanyak 21 orang meninggal dunia akibat terjatuh dan terinjak-injak atau kekurangan oksigen ketika antre untuk menerima zakat sebesar Rp 30 ribu dari H Sya’roni, Pasuruan (25/9). Ditengah banyaknya lembaga penyalur (amil) zakat, pemberian zakat secara langsung yang kemudian memakan korban tentu dianggap sebagian orang sebagai tragedi memilukan. Lantas muncul penilaian bahwa penyaluran zakat secara langsung dari penderma kepada fakir miskin kemungkinan menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat (LAZ) yang menjamur di Indonesia paska ditetapkannya UU Zakat No. 38 tahun 1999.

Analisa di atas jelas belum tentu benar mengingat penyaluran zakat dari individu ke individu bisa jadi berangkat dari pemahaman keagamaan terlalu harfiah seseorang, bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan dibawah, atau karena keinginan untuk melihat langsung si penerima. Namun analisa itu perlu dilihat lebih dalam. Bisa jadi para dermawan saat ini mulai berpikir, “Untuk apa memberikan zakat melalui lembaga penyalur zakat, jika ternyata dana zakat itu dipakai untuk kampanye dari partai yang berafiliasi ke lembaga zakat tertentu.”

Lembaga penyalur zakat PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat), misalnya, meski tidak ada hubungan struktural dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), namun lembaga ini didirikan oleh PKS. Dalam kerja dan pendistribusian di beberapa tempat, para petugas PKPU, dengan sengaja atau tidak, memakai berbagai atribut PKS seperti kaos dengan logo partai itu. Lembaga zakat dan sedekah dari radio, surat kabar, atau televisi tertentu juga melakukan hal yang serupa. Bagi mereka, distribusi zakat memiliki makna ganda, yaitu: Pertama, menyalurkan zakat atau sedekah itu sendiri dan, kedua, promosi dari institusi penyalur tersebut. Ketidaktulusan ini barangkali memberi andil bagi ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat.

Politik Zakat

Zakat adalah salah satu dari rukun Islam yang lima. Tujuan dari perintah ini adalah agar umat Islam yang kaya membantu saudara-saudaranya yang mengalami kesulitan materi atau hidup dalam kemiskinan. Namun zakat dan sedekah ini melangkah lebih jauh dari persoalan tolong-menolong ketika politik atau partai politik terlibat didalamnya. Ini tidak hanya berkaitan dengan proses perundang-undangan, namun juga cara mengoleksi dan distribusi.

Kemunculan UU Zakat itu sempat menjadi dilema bagi pemerintah. Pada zaman kolonial, dan ditiru di era Orde Baru, kekuatan ekonomi umat Islam melalui pengumpulan zakat sangat ditakuti pemerintah. Potensi itu bisa menjadi ancaman bila dipakai untuk kepentingan politik melawan pemerintah. Bayangkan, satu lembaga amil zakat (LAZ) saja, seperti Dompet Dhuafa (DD), mampu mengumpulkan dana senilai 35 miliar rupiah dalam setahun (2007). Konon, Universitas Al-Azhar, Mesir, bisa mendapatkan endowment lebih besar dari APBN negeri Fir’aun itu. Pemerintah Mesir lantas menasionalisasi kekayaan Al-Azhar karena ketakutan terhadap lembaga ini. Karena itulah, di Indonesia, payung hukum untuk lembaga zakat baru muncul setelah Reformasi.

Sekarang ini, kekhawatiran terhadap penggunaan dana zakat, infaq, dan sedekah untuk kepentingan politik muncul lagi di sebagian kalangan. Ketika partai tertentu memanfaatkan pendistribusian zakat untuk kepentingan kampanye, maka beberapa orang Islam yang tidak tergabung dalam partai tersebut merasa gerah dengan gerak langkah selama pendistribusian zakat. Ketika terjadi bencana alam, bendera partai-parta politik berkibar di lokasi bencana. Inilah diantaranya yang melatarbelakangi munculnya gagasan (yang sekarang sudah bergulir) untuk merevisi atau menghapus UU Zakat No. 38 tahun 1999.

Zakat untuk Kemanusiaan

Bagi sementara kalangan, munculnya Undang-undang tentang zakat merupakan bagian dari proses “politik Islam”; untuk menegakkan negara Islam atau minimal “menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Kelahiran UU Zakat No. 38 tahun 1999 sendiri bisa dilihat sebagai salah satu petunjuk bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler seperti dalam konsepsi sekulerisme di Eropa dan Amerika. Dalam konteks ini, negara tidak sekedar memberikan jaminan terhadap ekspresi keberagamaan, namun juga memberikan kekuatan hukum kepada agama untuk ikut serta dalam penataan dan pembangunan negara.

Untuk menghindari kehawatiran tentang munculnya negara Islam dan untuk menghindari politisasi zakat untuk kepentingan politik partai tertentu, maka zakat perlu dikembalikan pada misi kemanusiaannya. Selama ini ada anggapan bahwa karena perintah zakat berangkat dari agama Islam lantas pendistribusian dananya hanya diperuntukkan bagi umat Islam. Jika suatu bencana atau kemiskinan menimpa daerah non-Muslim, lantas tidak ada dana zakat yang mengalir ke daerah itu. Ini tentu bisa menimbulkan penilaian buruk. Kemiskinan sifatnya universal, tidak menganut agama. Karena itu, sifat kemanusiaan zakat harus mengalir kesana, tanpa melihat baju agama.

Kembali ke tragedi Pasuruan, tentu peristiwa itu tidak dikehendaki oleh sang dermawan. Peristiwa itu mungkin tidak bakal terjadi jika tidak ada unsur politik (dalam arti luas, termasuk yang sifatnya pribadi) didalamnya. Ketika tangan kanan memberi, upayakan tangan kanan tak melihatnya. Maka, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!
-oo0oo-

No comments:

Post a Comment