Tuesday, June 18, 2013

Pancasila's Contemporary Appeal: Re-legitimizing Indonesia's Founding Ethos

Background - Call for Papers

Indonesia's first president, Sukarno, created a revolutionary concept as the founding ethos of the newborn state of Indonesia. Pancasila was formulated as an intellectual concept to unify the rich variety of cultural, ethnic, linguistic, social and religious groups found throughout the vast and diverse Indonesian archipelago. Expanding its reach into all fields of society touching upon economics, politics, social justice, religion and human rights, after much contested debate, Pancasila was eventually accepted as the founding ethos of Indonesia.

Many years of economic, educational, political, and state-building development have passed since Pancasila was first espoused, resulting in the contemporary reality of Indonesian society. The current evolution of globalization and supra-national state structures have redefined the nation-state, directly challenging the relevance of a political philosophy developed decades ago and have put intense pressure upon the current interpretation of Pancasila.
The aim of this conference is to address questions and issues exploring to what degree Pancasila, as the founding ethos of Indonesia, continues to be relevant in a global and modern Indonesian society? To what degree can Pancasila and its followers address the various challenges of the centrifugal forces of globalization and modernity?
True to the multidisciplinary goal of the Yale Indonesia Forum (YIF), this topic will be approached by scientists and researchers from various intellectual and academic disciplines in order to highlight and question the different aspects of Indonesia's founding ethos of Pancasila. Abstracts are therefore invited for papers from scholars focusing on any social, economic, cultural, or religious aspect of this issue. Yogyakarta has again been chosen to host this year's YIF conference because of its nature as center of academic excellence in Indonesia, and as such, capacity to bring together intellectually and ethnically diverse people from all parts of Indonesia.
Program
July 1-2, 2009
Day 1

08.00 - 09.30 : Registration

09.00 - 10:00 : Opening Ceremony

Welcome by Fr. Ninik Yudiyanti, Vice-President of Sanata Dharma University.

Presentation of Towards An Inclusive Democratic Indonesian Society: Bridging the Gap between State Uniformity and Multicultural Identity Patterns, publication No 1 of the Yale Indonesia Forum International Conference Book Series, to Sanata Dharma University by Frank Dhont, YIF Coordinator.

10.00 - 10.15 : Coffee break

10.15-11.45: Panel 1: EXPRESSIONS OF PANCASILA

Moderator: A. Tripriantoro, Sanata Dharma University

Jennifer Goodlander, Ohio University.
"Rhythms of a National Body: Balinese Dance and the Ideology of the Panscasila."
Sita Hidayah, Florida International University/Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia.
"Translating 'Ketuhanan Yang Maha Esa' An Amenable Religious Repertoire?"
M. Endy Saputro, Gadjah Mada University.
"Reinterpreting Pancasila Kita."

11.45 - 12.45 : Lunch break

12.45 - 14.45 : Panel 2: INSPIRING A NATION

Moderator: Tamara Aberle, University of London
Satish Kumar Singh, DAV PG College, Banaras Hindu University
"Pancasila: Ethos of India"
Michael O'Shannassy, Australia National University.
"(Re)Imagining Community: Pancasila and National Identity in Contemporary Indonesia."
Saafroedin Bahar, Nusantara Institute.
"Pancasila, the living Staatsfundamentalnorm of the Indonesian nation-state."
Rommel A. Curaming, National University of Singapore.
"Consuming National Ideologies in the Blogsphere: Pancasila, Rukunegara and the Changing Matrix of Political Engagement in Indonesia and Malaysia"

14.45 - 15.00 : Coffee break

15.00 - 16.00 : Panel 3: INCLUDING THE OTHERS: PANCASILA FOR ALL?

Moderator: Tamara Aberle, University of London
Johanes Herlijanto, Macquarie University.
"Encountering the Ideological Other: Indonesians' Perception on Pancasila's 'Archenemy.'"
Yuwanto, Universitas Diponegoro.
"Exclusive bylaws at odds with state ideology of Pancasila."


Day 2


08.00 - 08.45 : Registration

08.45 - 10.15 : Panel 4: EDUCATION AND PANCASILA VALUES

Moderator: Melanie A. Nyhof, University of Pittsburgh
Frank Dhont, Yale University.
"Sukarno's Pancasila: a Man of his Time."
Hastangka, Gadjah Mada University.
"Pancasila Education in the Post Reform Era, Senior High Schools (SMA): A Study in Yogyakarta."
H. Purwanta, Sanata Dharma University.
"Inculcating Pancasila."

10.15 - 10.30 : Coffee break

10.30 - 12.30 : Panel 5: Questioning Pancasila's relevance: past and present.

Moderator: Melissa Teetzel, Pepperdine University
Seung-Won Song, Sogang University.
"Back to Basics in Indonesia?: Reassessing the Pancasila and Pancasila State and Society, 1945-2007."
Victor Sumsky, Institute of World Economy and International Relations.
"Why Pancasila may look irrelevant in 2009 - and why it may not."
G. Budi Subanar, Sanata Dharma University.
"Story of Pancasila through Visual Art: A Preliminary Research."
Michael Wood, Dawson College.
"Has Pancasila Ever been Relevant?: A Historical Inquiry."

12.30 - 13.30: Lunch break

13.30 - 15.30: Panel 6: APPLYING PANCASILA IN A COMMUNITY

Moderator: Melissa Teetzel, Pepperdine University
Kevin W. Fogg, Yale University.
"Pancasila as an Idea, not an Icon; Masyumi and the State Ideology."
Silverio R.L. Aji Sampurno, Sanata Dharma University.
"Pancasila, truly of the Indonesian people: The case of the community of Bening Village in Sleman, Yogyakarta."
Pius S. Prasetyo, Parahyangan University.
"Village Democracy : The Interaction Between Local Culture and Modern Political Pattern."
Lukas S. Ispandriarno, Atma Jaya Yogyakarta University.
"Pancasila Press after the New Order: The Concept and Practice of Pancasila Press according to the Version of Kedaulatan Rakyat newspaper of Yogyakarta."

15.30-16.00: Closing Ceremony

Closing Remarks by Frank Dhont, Yale University and Silverio R.L. Aji Sampurno, Sanata Dharma University.
Closing and presentation of souvenirs to all speakers by Paulus Wiryono Priyotamtomo, President of Sanata Dharma University.
Conference Organizers:
Frank Dhont, Yale University
Silverio R. L. A. Sampurno, Sanata Dharma University
S. Nindito, Atma Jaya Yogyakarta University
Thomas J. Conners, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology

Cooperating Institutions:
Yale Indonesia Forum, Yale University
Sanata Dharma University
Atma Jaya Yogyakarta University


For additional information: E-mail frank.dhont@yale.edu

Monday, May 20, 2013

Piagam Jakarta dan Piagam Madinah

Kompas, 30 Nopember 2004
 
Ahmad Najib Burhani Dosen di Universitas Paramadina, Jakarta

BEBERAPA waktu lalu Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang kini menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, mengangkat satu isu penting tentang Piagam Madinah (International Herald Tribune, 21/10/2004). Menurut dia, partainya kini tidak lagi berusaha untuk memperjuangkan Piagam Jakarta masuk menjadi bagian dari konstitusi negara ini. Sebagai gantinya, PKS akan memperjuangkan tema yang lebih menarik, yaitu Piagam Madinah.

Inti dari perjuangan mengangkat kembali isu Piagam Jakarta yang didengungkan oleh beberapa partai Islam, dengan PKS sebagai salah satu pelopornya, adalah dimasukkannya kembali tujuh kata ("dengan kewajiban menjalankan syariat Islam kepada pemeluknya") dalam dasar negara ini. Dengan dicantumkannya kata-kata itu dalam undang-undang dan dasar negara, maka seluruh umat Islam di negeri ini harus mengikuti syariat Islam dan negara berhak memberi hukuman kepada orang Islam yang tidak bersedia menaatinya.
Tema Piagam Jakarta merupakan tema yang terus diperjuangkan beberapa partai Islam sejak masa kemerdekaan. Namun, setiap kali isu ini diangkat, reaksi negatif dari beberapa partai, baik sesama partai Islam maupun partai lainnya, selalu muncul. Terakhir kali, perjuangan untuk mengangkat kembali persoalan Piagam Jakarta itu terjadi pada sidang MPR tahun 2000. Lagi-lagi perjuangan yang, di antaranya, dimotori oleh PK (sebelum ganti nama menjadi PKS) ini berakhir dengan kegagalan.

Barangkali dengan menyadari berulang-ulangnya kegagalan dalam memperjuangkan Piagam Jakarta itulah yang membuat PKS lantas memutar haluan, tidak lagi mengangkat tema yang sama tapi menggantinya dengan tema lain yang kemungkinan lebih bisa diterima oleh kalangan luas, yaitu Piagam Madinah.

Piagam Madinah
Segera setelah Muhammad SAW tiba di Madinah pada 622, beliau membuat perjanjian antara orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi), Ansar (penduduk Muslim di Madinah), dan orang-orang Yahudi. Perjanjian inilah yang kemudian disebut dengan Konstitusi atau Piagam Madinah.

Sarjana-sarjana Barat dan, tentunya, juga sarjana Muslim sepakat bahwa piagam ini adalah otentik. Menurut Julius Wellhausen, seorang orientalis Jerman, ada empat alasan yang mendasari otentitas piagam ini, yaitu, pertama, grammar dan kosakata yang dipakai sangat archaic. Kedua, teks perjanjian itu penuh dengan alusi yang hanya bisa dipahami oleh orang yang sezaman dengan diadakannya perjanjian itu. Ketiga, teks perjanjian itu merefleksikan hukum suku-suku kuno, jauh sebelum Islam hadir. Keempat, jika ada pemalsuan terhadap perjanjian itu, tentu ia akan merefleksikan fenomena masa-masa Islam, misalnya, non-Muslim pasti tidak masuk dalam kategori umma wahida (Humphreys, 1999).

Piagam Madinah sering dianggap sebagai dasar dari pembentukan negara Islam pertama di Madinah. Dan Nabi Muhammad dipercayai sebagai peletak dasar negara itu. Isi perjanjian ini, di antaranya, bahwa seluruh penduduk Madinah, apa pun agama dan sukunya, adalah umma wahida (a single community) atau umat yang tunggal. Karena itu, mereka semua harus saling membantu dan melindungi, serta mereka semua berhak menjalankan agama yang dipeluknya masing-masing.

Nilai-nilai universal yang dikandung oleh Piagam Madinah itulah yang, di antaranya, menjadi alasan bagi Hidayat Nur Wahid dan PKS untuk memindahkan tema perjuangannya dari Piagam Jakarta menuju Piagam Madinah. Menurut Hidayat, PKS adalah partai Islam, tetapi partai ini memperjuangkan hal-hal yang bersifat universal. Dan Piagam Madinah, lanjutnya, menempatkan setiap orang dan setiap agama pada posisi yang sama. Ini, barangkali, yang membedakannya dengan Piagam Jakarta yang menempatkan umat Islam sebagai komunitas eksklusif dan khusus di negeri ini dan menempatkan umat lain sebagai warga negara kelas dua.

Politik pintu belakang
Meski teks dari Piagam Madinah diyakini otentik, perjanjian ini tak lepas dari persoalan-persoalan. Dalam kaitannya dengan pembahasan kita kali ini, setidaknya ada tiga hal dari perjanjian itu yang perlu kita cermati. Pertama, dalam perjanjian itu tidak ada kata-kata nation of Islam atau "negara Islam". Ini adalah perjanjian antara orang Islam dan non-Muslim untuk membangun satu tatanan bersama. Bahkan, kedua, dalam perjanjian itu, komunitas non-Muslim masuk dalam kategori umma wahida. Dalam pemahaman yang berkembang kemudian, Piagam Madinah dianggap semata- mata sebagai dasar pembentukan "negara Islam". Hal yang lebih perlu dicermati adalah fenomena penyempitan makna umma wahida yang hanya mencakup umat Islam. Kata-kata ini bermakna eksklusif dan mengeluarkan umat yang beragama lain dari kandungan kata-kata itu.
Ketiga, para sejarawan tidak pernah sepakat apakah Piagam Madinah itu merupakan perjanjian sepihak yang dibuat oleh Rasulullah dan orang lain hanya diminta menyetujui (a unilateral edict) atau piagam itu mengalami proses perdebatan dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (a negotiated settlement). Untuk persoalan ketiga ini, jika proses terjadinya perjanjian itu hanya hasil dari penyodoran Nabi Muhammad kepada umat lain untuk disetujui, sebetulnya tidak ada equality dari pihak-pihak yang terlibat.

Jika Nabi Muhammad membuat perjanjian itu dengan melakukan perbincangan dan perdebatan dengan berbagai pihak yang terlibat, apa yang sekarang disebut dengan proses demokrasi telah dijalankan. Bila kita memahami Piagam Madinah sebagai a negotiated settlement, maka konteks yang sama dengan perjanjian itu telah terjadi pada Piagam Jakarta minus tujuh kata-katanya. Pembuangan tujuh kata itu adalah bagian dari demokrasi.

Persoalan yang menarik sekarang ini adalah adanya kekhawatiran dari berbagai pihak bahwa upaya yang dilakukan oleh PKS untuk mengangkat isu Piagam Madinah ini hanya sebagai politik pintu belakang. Artinya, isu-isu yang diangkat di permukaan dan di media massa adalah hal-hal yang bersifat universal, tetapi tujuan akhir yang ingin diraih adalah hal-hal yang bersifat khusus, seperti, pembentukan negara Islam atau menjadikan pemeluk Islam sebagai komunitas yang eksklusif di negeri ini. Bila hal ini yang terjadi, sebetulnya perjuangan untuk menegakkan Piagam Jakarta dan perjuangan menegakkan Piagam Madinah menjadi setali dua uang, sama saja.

Semestinya, dengan mengacu kepada Piagam Madinah, bila umat Islam diwajibkan menjalankan syariatnya, maka umat agama lain pun akan memperoleh hal yang sama. Dan akhirnya, perbedaan syariat masing-masing agama itu tidak bisa menjadi alasan untuk berselisih karena semua orang di negeri ini, Muslim atau non-Muslim dan dari suku atau golongan apa pun, adalah umma wahida.

Sunday, May 19, 2013

Piagam Jakarta, PKS, dan Demokratisasi Referensi


Kompas, 14 Desember 2004
Oleh Untung Wahono
 
SESAAT setelah Hidayat Nur Wahid terpilih sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, seorang anggota MPR mengajukan interupsi.


Isi interupsi, meminta ketegasan Ketua MPR untuk tidak mengamandemen UUD 1945, khususnya memasukkan Piagam Jakarta ke dalam konstitusi yang telah mengalami empat tahap amandemen.


Agaknya, tema semacam itu bukan hanya menjadi isu politik di MPR, tetapi juga melebar ke media massa seperti opini yang disajikan Ahmad Najib Burhani (Kompas, 30/11/2004).


Bertolak dari hak kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat, sebenarnya tak ada yang perlu dimasalahkan dari tulisan Burhani karena pikiran seperti itu (Partai Keadilan Sejahtera/PKS melakukan politik pintu belakang) kerap dilontarkan. Tetapi yang patut disayangkan adalah kekeliruan fatal Burhani dalam mengemukakan data historis yang menyangkut sikap dan tindakan politik PKS terkait usulan dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945. Tulisan ini dibuat dalam rangka mengklarifikasi kekeliruan itu dan mengomentari pendapat Burhani agar memperkaya wawasan dalam memandang masalah yang bagi sebagian bangsa Indonesia dianggap sensitif ini.


PKS dan Piagam Jakarta
Pada alinea kedua tulisannya, Burhani menyatakan, "Inti dari perjuangan mengangkat kembali isu Piagam Jakarta yang didengungkan beberapa partai Islam, dengan PKS sebagai salah satu pelopornya,…." Sedangkan pada alinea ketiga Burhani menulis, "Lagi-lagi perjuangan yang di antaranya dimotori Partai Keadilan (sebelum ganti nama menjadi PKS) ini berakhir dengan kegagalan."


Tampak Burhani dalam menyajikan pikirannya tidak didukung data akurat. Bahkan bagi yang masih segar ingatannya dalam mengikuti berbagai peristiwa yang terjadi sekitar proses amandemen UUD 1945, posisi PKS amat jelas. Sejak pembahasan Pasal 29 Ayat (1) dilakukan, berkembang tiga alternatif amandemen.


Pertama, mereka yang menginginkan pasal itu tetap dan tidak berubah. Kedua, ada yang mengusulkan perubahan sehingga menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Ketiga, ada yang mengusulkan perubahan sehingga menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran agama bagi para pemeluknya.


Pengusul kedua, yang rumusannya dikenal sebagai Piagam Jakarta, adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Jadi tidak benar jika PKS didudukkan sebagai motor atau pelopor Piagam Jakarta dalam momentum amandemen UUD pasca-Soeharto. Sebagai sebuah fakta sejarah, hal ini harus diungkap karena sikap politik PKS yang ditampilkan saat itu adalah hasil sebuah musyawarah panjang dan dalam dari lembaga-lembaga tinggi partai. Partai Keadilan/PK (saat itu belum menjadi PKS) sejak pembahasan pasal itu sudah pada posisi pilihan ketiga bersama dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang saat itu tergabung dalam Fraksi Reformasi.


Saat itu PKS telah menyatakan dasar sikap politiknya. Pertama, menjunjung nilai-nilai agama sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Kedua, memberi penekanan pada keadilan posisi agama-agama di Indonesia. Dalam penjelasan (bayanat) partai yang diedarkan saat itu, PKS mengilustrasikan betapa pada masa hidup Rasulullah SAW di Madinah hukum-hukum Taurat dan Injil juga diberlakukan kepada para ahli kitab (lihat sebab turun Surat Al Maaidah Ayat 40-45). Dengan rumusan "kewajiban menjalankan ajaran agama bagi para pemeluknya"-lalu rumusan ini dikaitkan dengan Piagam Madinah-PKS memandang kehidupan spiritualitas keagamaan akan dihargai di Indonesia.


Dengan demikian, amat keliru pernyataan Burhani dalam tulisan itu, "Barangkali dengan menyadari berulang-ulangnya kegagalan dalam memperjuangkan Piagam Jakarta itulah membuat PKS lantas memutar haluan, tidak lagi mengangkat tema yang sama, tetapi menggantinya dengan tema lain yang kemungkinan lebih bisa diterima kalangan luas, yaitu Piagam Madinah."


Kenyataannya, PKS tidak pernah mengusung Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945 pada sidang-sidang tahunan MPR saat itu. Apalagi jika disimpulkan PKS "berulang-ulang mengalami kegagalan dalam memperjuangkan Piagam Jakarta" karena PK atau PKS adalah partai yang baru muncul tahun 1998, tidak pernah mengklaim merupakan pewaris partai-partai yang pernah ada di Indonesia sebelumnya.


Demokratisasi referensi
Dalam sejarah pertumbuhan negara-negara di dunia, pencarian dan pemilihan referensi politik amat wajar terjadi, bahkan pada negara-negara besar sekalipun. Sejak zaman Romawi Kuno, berbagai model negara telah dikenal dan dikembangkan dengan berbagai dasar pemikiran (di antaranya yang terkenal adalah Republik karya Plato). Suatu hal yang perlu dicatat, pada kenyataannya tidak diperlukan finalitas konsepsi bagi sebuah pemikiran atau ajaran untuk dijadikan sebuah referensi politik oleh seseorang atau sebuah gerakan politik.


Sosialisme, kapitalisme, dan komunisme bukan sebuah konsep anorganik sepanjang sejarahnya, namun tetap menjadi referensi politik penting bagi banyak pemikir dan pembangun negara. Karena itu, wajar pula PKS menjadikan Piagam Madinah sebagai referensi politik meski berbagai perkembangan penafsiran telah muncul dari dokumen yang disepakati kaum Muslimin dan non- Muslimin saat Nabi Muhammad SAW hidup di Madinah.


Dalam konteks Indonesia, hal terpenting yang harus dihayati adalah penggunaan referensi politik bukan saja merupakan kewajaran proses, tetapi juga merupakan hak politik yang dihormati dan dijamin konstitusi. Demokratisasi referensi adalah produk proses reformasi Indonesia tahun 1998 yang ditandai dengan dihapusnya pakem asas tunggal Pancasila dan diberlakukannya undang-undang politik yang baru tahun 1999. Tradisi lama dalam politik yang diwarnai "penyeragaman total" dan sikap-sikap apriori terhadap perbedaan pemikiran dan cara memperjuangkan kepentingan telah ditinggalkan.


Karena itu, upaya mengaitkan sikap politik PKS dengan "politik pintu belakang" yang dilakukan Burhani dalam tulisannya tidak memiliki landasan kuat, baik dari sisi historis, politis, maupun etis. PKS telah tampil dalam panggung demokrasi Indonesia dengan kesiapan untuk berinteraksi dengan semua pihak dalam berbagai bentuk. Bahkan partai ini dinilai banyak pengamat-di antaranya Martin van Bruinessen dan William Lidle-telah menunjukkan kecenderungan kuat untuk bermain secara sehat dalam prosedur demokrasi yang ada, baik secara internal maupun eksternal partai.


Politik kecurigaan yang tercermin pada tuduhan "politik pintu belakang" tidak menyehatkan kehidupan demokrasi Indonesia. Saling tuduh akan terjadi karena pada dasarnya kapitalisme, sosialisme, komunisme, sekularisme, dan isme-isme lain dengan segala varian pemikirannya mempunyai penggemar, pemuja, dan penentangnya. Selamat datang di alam demokrasi.


Untung Wahono Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/14/opini/1414873.htm

Thursday, May 16, 2013

Agoes Salim dan Tafsir Pancasila

Setiap kali diskusi mengenai Pancasila berlangsung, selalu muncul pertanyaan pokok ini: apakah Pancasila, terutama sila Ketuhanan yang Maha Esa, mampu mengakomodasi mereka yang tidak beragama (ateis), maupun mereka yang menyembah banyak Tuhan (politeis)? Atau Pancasila, sesungguhnya, hanya mengakui monoteisme?
Sulit menjawab pertanyaan itu. Tetapi pertanyaan itu memang sah. Dalam negara modern, yang didasarkan pada demokrasi-konstitusional dan menghormati nilai-nilai HAM, keberadaan mereka–ateis atau non-teis atau politeis–tetap harus dihormati. Negara seharusnya tidak punya urusan apapun dengan keyakinan seseorang. Namun, dalam konteks Indonesia, prinsip dasar itu sungguh sulit ditegakkan.
Agus_Salim_headshot
Di situ, tafsir jenial H. Agoes Salim, salah seorang pejuang kemerdekaan dan ulama besar Islam, mengenai sila pertama Pancasila sungguh menakjubkan. Saya memperoleh teks yang sangat langka ini lewat fotokopi yang diberikan pada Bpk Djohan Efendi, sembari memberitahu bahwa teks ini sangat penting untuk diketahui umum, karena keberadaannya sungguh sulit dicari lagi.
Dalam teks tersebut (lengkapnya bisa diunduh di tautan ini), Agoes Salim menandaskan tafsirnya begini:
Dapatkah dengan asas negara itu (yakni “kepercayaan kepada Ketuhanan yang Maha Esa”—TS) kita mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang meniadakan Tuhan? Atau keyakinan agama yang mengakui Tuhan berbilangan (yakni “politeis”—TS) atau berbagibagi?
Tentu dan pasti! Sebab undang-undang dasar kita, sebagai juga undang-undang dasar tiap-tiap negara yang mempunyai adab dan kesopanan mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan agama, sekadar dengan batas yang tersebut tadi itu, yaitu asal jangan melanggar adab kesopanan ramai, tertib keamanan dan damai.
Sungguh sebuah tafsir jenial yang visioner! Sayangnya, tafsir ini kalah dalam pertarungan kuasa diskursus yang kemudian melahirkan “politik agama” Orde Baru dan masih terus diwarisi sampai sekarang.
Sebab, pada akhirnya, persoalan tafsir terhadap Pancasila–atau ideologi apapun juga–bukanlah persoalan hermeneutik saja, melainkan persoalan politik penafsiran di mana relasi-relasi kuasa bermain membentuk medan diskursusnya.

http://berteologi.wordpress.com/2013/05/01/agoes-salim-dan-tafsir-pancasila/

Wednesday, May 15, 2013

H. Agus Salim tentang Kemerdekaan Agama & Peran Kementrian Agama

H. AGUS SALIM ttg KEMERDEKAAN AGAMA & PERAN KEMENTRIAN AGAMA
(Sumber/tautan: https://www.box.com/s/f1oo2bqtp08v1b08gdxb)

"Bagaimanakah kemerdekaan agama harus dipahamkan dalam negara kita, jang didasarkan kepada kepertjajaan kepada Ketuhanan jang Maha Esa.

Dapatkah dengan asas negara itu kita mengakui kemerdekaan orang jang meniadakan Tuhan? Atau kejakinan agama jang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi?

Tentu dan pasti! Sebab undang-undang dasar kita, sebagai djuga undang-undang dasar tiap-tiap negara jang mempunyai adab dan kesopanan, mengakui dan mendjamin kemerdekaan kejakinan agama, asal djangan melanggar hak-hak pergaulan dan orang masing-masing, djangan melanggar adab kesopanan ramai, tertib keamanan dan damai.

....

Alhasil, Kementerian Urusan Agama negara kita, tetap harus mengingat bahwa sekalipun bangsa kita sebahagian besar sekali beragama Islam, akan tetapi negara kita tidak menetapkan agama islam sebagai agama negara jang diwadjibkan atas segala rakjat. Bersetudju dengan azas-azas jang diadjarkan dalam agama Islam, kita harus mengakui bahwa tetap adanja berbagai-bagai agama itu di atas dunia memang dikehendaki oleh Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Maidah, Ajat 51.

Bahkan terhadap mereka jang meniadakan Tuhan pun dan jang beragama Ketuhanan berbilangan atau berbagi-bagi, tidaklah Tuhan menghendaki kita melakukan paksaan. Bahkan tidakpun dibenarkan kita menghadapkan tjelaan dan tjatjian, mengingat firman Allah dalam surat Al An'am, Ajat 108: "Djanganlah kamu mentatji siapa-siapa jang mereka seru lain dari pada Allah."

Dalam kedua-dua hal itu dinjatakan bahwa keputusan penghabisan hanja Allah Ta'ala jang akan memberinja dengan tjara jang tak dapat lagi dimungkiri atau dielakkan oleh barang siapa jang bersangkutan. Dengan tegasnja sekali dinyatakan dalam Ajat lain, bahwa memilih kepertjajaan agama itu tidak dengan bukti dan tidak dengan kehendak manusia, melainkan semata-mata tergantung pada kehendak Allah jua.

Sambil mengingat adjaran agama Islam jang tersebut itu...sungguh besar dan mulia djabatan dan tugas lapangan Kementrian Urusan Agama. Terutama sekali penting, karena kepada kebidjaksanaannja dan ketjakapannja amat banjak tergantung pemeliharaan kesatuan kebangsaan kita jang perlu untuk memeliharakan dan membela kesatuan tanah air kita. Satu dalam kebulatan kesatuan jang kokoh teguh, tidak dapat dipetjah belah, dipisah-pisah atau dibagi-bagi oleh siapapun djua."

(H. Agus Salim, "Kementerian Agama dalam Republik Indonesia," dalam AGENDA KEMENTERIAN AGAMA, 1951/1952) 

Uploadedby Iwan Syahril in his Facebook: https://www.facebook.com/iwan.syahril?hc_location=stream

Sunday, May 12, 2013

Antara Zakat Politik dan Zakat Kemanusiaan


Oleh Ahmad Najib Burhani*


Sebanyak 21 orang meninggal dunia akibat terjatuh dan terinjak-injak atau kekurangan oksigen ketika antre untuk menerima zakat sebesar Rp 30 ribu dari H Sya’roni, Pasuruan (25/9). Ditengah banyaknya lembaga penyalur (amil) zakat, pemberian zakat secara langsung yang kemudian memakan korban tentu dianggap sebagian orang sebagai tragedi memilukan. Lantas muncul penilaian bahwa penyaluran zakat secara langsung dari penderma kepada fakir miskin kemungkinan menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat (LAZ) yang menjamur di Indonesia paska ditetapkannya UU Zakat No. 38 tahun 1999.

Analisa di atas jelas belum tentu benar mengingat penyaluran zakat dari individu ke individu bisa jadi berangkat dari pemahaman keagamaan terlalu harfiah seseorang, bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan dibawah, atau karena keinginan untuk melihat langsung si penerima. Namun analisa itu perlu dilihat lebih dalam. Bisa jadi para dermawan saat ini mulai berpikir, “Untuk apa memberikan zakat melalui lembaga penyalur zakat, jika ternyata dana zakat itu dipakai untuk kampanye dari partai yang berafiliasi ke lembaga zakat tertentu.”

Lembaga penyalur zakat PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat), misalnya, meski tidak ada hubungan struktural dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), namun lembaga ini didirikan oleh PKS. Dalam kerja dan pendistribusian di beberapa tempat, para petugas PKPU, dengan sengaja atau tidak, memakai berbagai atribut PKS seperti kaos dengan logo partai itu. Lembaga zakat dan sedekah dari radio, surat kabar, atau televisi tertentu juga melakukan hal yang serupa. Bagi mereka, distribusi zakat memiliki makna ganda, yaitu: Pertama, menyalurkan zakat atau sedekah itu sendiri dan, kedua, promosi dari institusi penyalur tersebut. Ketidaktulusan ini barangkali memberi andil bagi ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat.

Politik Zakat

Zakat adalah salah satu dari rukun Islam yang lima. Tujuan dari perintah ini adalah agar umat Islam yang kaya membantu saudara-saudaranya yang mengalami kesulitan materi atau hidup dalam kemiskinan. Namun zakat dan sedekah ini melangkah lebih jauh dari persoalan tolong-menolong ketika politik atau partai politik terlibat didalamnya. Ini tidak hanya berkaitan dengan proses perundang-undangan, namun juga cara mengoleksi dan distribusi.

Kemunculan UU Zakat itu sempat menjadi dilema bagi pemerintah. Pada zaman kolonial, dan ditiru di era Orde Baru, kekuatan ekonomi umat Islam melalui pengumpulan zakat sangat ditakuti pemerintah. Potensi itu bisa menjadi ancaman bila dipakai untuk kepentingan politik melawan pemerintah. Bayangkan, satu lembaga amil zakat (LAZ) saja, seperti Dompet Dhuafa (DD), mampu mengumpulkan dana senilai 35 miliar rupiah dalam setahun (2007). Konon, Universitas Al-Azhar, Mesir, bisa mendapatkan endowment lebih besar dari APBN negeri Fir’aun itu. Pemerintah Mesir lantas menasionalisasi kekayaan Al-Azhar karena ketakutan terhadap lembaga ini. Karena itulah, di Indonesia, payung hukum untuk lembaga zakat baru muncul setelah Reformasi.

Sekarang ini, kekhawatiran terhadap penggunaan dana zakat, infaq, dan sedekah untuk kepentingan politik muncul lagi di sebagian kalangan. Ketika partai tertentu memanfaatkan pendistribusian zakat untuk kepentingan kampanye, maka beberapa orang Islam yang tidak tergabung dalam partai tersebut merasa gerah dengan gerak langkah selama pendistribusian zakat. Ketika terjadi bencana alam, bendera partai-parta politik berkibar di lokasi bencana. Inilah diantaranya yang melatarbelakangi munculnya gagasan (yang sekarang sudah bergulir) untuk merevisi atau menghapus UU Zakat No. 38 tahun 1999.

Zakat untuk Kemanusiaan

Bagi sementara kalangan, munculnya Undang-undang tentang zakat merupakan bagian dari proses “politik Islam”; untuk menegakkan negara Islam atau minimal “menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Kelahiran UU Zakat No. 38 tahun 1999 sendiri bisa dilihat sebagai salah satu petunjuk bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler seperti dalam konsepsi sekulerisme di Eropa dan Amerika. Dalam konteks ini, negara tidak sekedar memberikan jaminan terhadap ekspresi keberagamaan, namun juga memberikan kekuatan hukum kepada agama untuk ikut serta dalam penataan dan pembangunan negara.

Untuk menghindari kehawatiran tentang munculnya negara Islam dan untuk menghindari politisasi zakat untuk kepentingan politik partai tertentu, maka zakat perlu dikembalikan pada misi kemanusiaannya. Selama ini ada anggapan bahwa karena perintah zakat berangkat dari agama Islam lantas pendistribusian dananya hanya diperuntukkan bagi umat Islam. Jika suatu bencana atau kemiskinan menimpa daerah non-Muslim, lantas tidak ada dana zakat yang mengalir ke daerah itu. Ini tentu bisa menimbulkan penilaian buruk. Kemiskinan sifatnya universal, tidak menganut agama. Karena itu, sifat kemanusiaan zakat harus mengalir kesana, tanpa melihat baju agama.

Kembali ke tragedi Pasuruan, tentu peristiwa itu tidak dikehendaki oleh sang dermawan. Peristiwa itu mungkin tidak bakal terjadi jika tidak ada unsur politik (dalam arti luas, termasuk yang sifatnya pribadi) didalamnya. Ketika tangan kanan memberi, upayakan tangan kanan tak melihatnya. Maka, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!
-oo0oo-

Monday, May 6, 2013

Zakat untuk Civil Society



Ahmad Najib Burhani*

Selain dikenal sebagai bulan untuk berpuasa, Ramadhan juga menjadi bulan untuk berzakat. Dari laporan keuangan yang dikeluarkan Dompet Dhuafa (DD), misalnya, tercatat lebih dari 50 persen total dana yang mereka kumpulkan dalam satu tahun itu terjadi pada bulan Ramadhan. Jika dalam setahun DD berhasil mengumpulkan zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf (Ziswah) senilai 22 milyar rupiah, maka lebih dari 11 milyar rupiah transaksi Ziswah itu terjadi di bulan ini. Angka ini belum termasuk jumlah dana yang diterima oleh LAZ (Lembaga Amil Zakat), BAZ (Badan Amil Zakat), dan organisasi pengelola zakat lainnya. Inilah, diantaranya, yang menyebabkan maraknya iklan zakat di berbagai media massa saat ini.

Potensi Ziswah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia memang cukup besar. Menurut Zaim Saidi, potensi itu bisa mencapai Rp. 7,5 triliun pertahun. Dilihat dari rate of giving (kebiasaan memberi), prosentase yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah terbesar di Asia, bahkan lebih besar dari Amerika, Jepang, Jerman, dan Prancis.(2003: 278-292) Persoalan yang sangat penting dipikirkan saat ini adalah bagaimana cara untuk memanfaatkan potensi yang cukup besar itu.

Memang, dari potensi Rp.7,5 triliun itu, dana yang berhasil dimobilisasi secara terorganisir baru sekitar Rp. 1 triliun pertahun. Namun jumlah ini jelas sudah sangat besar. Azyumardi Azra, Rektor UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta, pernah menyatakan bahwa jika dana Ziswah itu bisa dimanfaatkan dengan baik, maka LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Indonesia yang selama ini sangat bergantung pada pemberian dana dari luar negeri akan bisa bersikap lebih independen dengan cara melepaskan ketergantungannya pada lembaga-lembaga donor asing.(Republika, 17/6)

Pola Pemanfaatan Dana Ziswah
Dalam pemahaman dan praktek tradisional, pemanfaatan dana zakat, infak, dan sadaqah biasanya ditekankan pada fungsi relief atau diberikan langsung dalam bentuk uang dan makanan. Sementara wakaf, biasanya hanya dalam bentuk tanah dan digunakan untuk pembangunan masjid atau madrasah. Delapan kelompok yang berhak menerima zakat (ashnaf) yang terdiri dari fakir, miskin, amil, gharim (orang yang berhutang), muallaf (orang yang baru masuk Islam), ibnu sabil (musafir), sabilillah (untuk perjuangan di jalan Allah), dan budak biasanya menerima langsung bantuan tanpa tersistematisasikan dengan baik.

Pola pengelolaan dan pemanfaatan Ziswah yang lebih maju dari pola tradisional itu adalah apa yang dilakukan oleh beberapa LAZ dan BAZ. Satu kelebihan yang sering diandalkan LAZ dan BAZ terhadap pola tradisional adalah masalah transparansi. LAZ dan BAZ membuka diri untuk diaudit oleh akuntan publik. Mereka juga secara rutin mengumumkan penerimaan dan pemanfaatan Ziswah kepada publik melalui media massa, website, dan sebagainya. Transparansi inilah yang sering alfa dalam pola-pola Ziswah tradisional.

Namun demikian, dari segi pemanfaatan Ziswah, sering dinyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh LAZ dan BAZ itu sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan pola-pola tradisional. Pola umum dalam penyaluran Ziswah yang dilakukan oleh LAZ dan BAZ masih berkutat dalam bentuk karitas (charity) dan orientasi mercusuar.

Distribusi Ziswah dengan pola karitas adalah menekankan fungsi Ziswah untuk membantu orang yang tak berdaya dalam bentuk yang paling sederhana, seperti meringankan penderitaannya dengan memberi makanan, menyekolahkan, dan membantu pengobatan. Sifat dari bantuan ini adalah relief (mengurangi penderitaan), bukan release (menghilangkan penderitaan). Sasaran dari distribusi Ziswah model ini adalah individu. Indikator keberhasilannya adalah seberapa banyak jumlah individu yang ditolong. Program-program yang dikembangkan oleh Lazis dan Bazis, barangkali, hampir seluruhnya mengikui pola ini. Ambulance keliling gratis, layanan kesehatan cuma-cuma,  pembangunan WC umum, pemberian makanan, dan sejenisnya. Hasil dari distribusi Ziswah model ini bersifat sementara. Setelah menerima bantuan, orang-orang yang lemah itu akan mudah sekali kembali terjatuh dalam kesengsaraannya.

Tuntutan transparansi adalah positif. Namun tuntutan ini seringkali menjebak pengelola Ziswah untuk berpikir dan berorientasi mercusuar. Pernah dalam suatu pelantikan pimpinan organisasi pengelola zakat, dalam pidatonya ketua terpilih organisasi itu mengungkapkan salah satu targetnya adalah menciptakan program atau bangunan mercusuar dari dana Ziswah, sehingga ada bukti konkrit pemanfaatan Ziswah, umat atau muzakki (pemberi zakat) bisa melihat hasil dari dana yang mereka keluarkan. Banyak pengelola zakat yang saat ini berlomba untuk memiliki bangunan besar atau program mercusuar dari dana Ziswah.

Dari Karitas Menuju Pemberdayaan
Pada beberapa aspek, pola karitas dan orientasi mercusuar bisa dibenarkan. Misalnya, dilihat pada masih banyaknya rakyat miskin yang akan mati bila tak diberi bantuan yang bersifat segera. Dari segi muzakki, banyak yang masih menuntut bukti kasat mata dari dana Ziswah yang mereka keluarkan. Hanya saja, pola ini tidak bisa dipertahankan terus-menerus. Pola karitas harus segera didampingi dengan pola pemberdayaan. Asumsinya, kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat itu disebabkan oleh tak terberdayakannya potensi mereka. Masyarakat menjadi miskin karena mereka tak memiliki keahlian untuk bekerja, tak terlatih, dan tak memiliki modal. Untuk itu, harta Ziswah harus digunakan untuk memberdayakan masyarakat dalam bentuk pendidikan, pelatihan, pemberian modal, dan pendampingan. Sasaran yang dikehendaki dari pola ini adalah transformasi sosial.

Pola pemberdayaan jauh lebih sulit dibanding pola karitas. Di samping itu, ia sangat rentan terhadap kegagalan. Pola karitas lebih mudah ditangani dan cenderung terlihat sukses. Hasil dari pola karitas bersifat tangible, bisa dilihat dalam waktu cepat dan nyata. Transformasi sosial membutuhkan dana besar, waktu lama, dan hasilnya tidak bisa dilihat secara nyata. Memang ada indikator keberhasilan atau kegagalan, indikator perubahan sikap masyarakat, serta ukuran lain untuk melihat dampak dari pemberdayaan. Hanya, bila dibandingkan dengan upaya non-pemberdayaan, hasilnya jauh berbeda. Dana sebesar Rp. 100 juta yang diberikan kepada masyarakat untuk pembangunan masjid akan bisa dilihat hasilnya secara nyata dan cepat. Dana dalam jumlah sama atau bahkan 10 kali lipat belum tentu berhasil memberdayakan 10 orang.

Pola pemberdayaan adalah satu sekuen yang wajib diikuti setelah melaksanakan pola pertama jika ingin menggunakan dana Ziswah secara lebih bermanfaat. Untuk ini, di samping perlu kerja keras, juga perlu keberanian teologis. Artinya, perlu dekonstruksi dan rekonstruksi pemaknaan terhadap ashnaf, amil (pengelola zakat), dan teks-teks kitab suci lain. Amil bukan sekadar berfungsi sebagai robot yang menyalurkan Ziswah orang kaya kepada orang miskin, tapi ia harus kreatif dalam mendistribusikan. Amil harus berijtihad dengan menggunakan dana Ziswah untuk transformasi sosial dan berani salah dalam berijtihad.

Memang, ada tahapan lebih lanjut dari sekadar pemberdayaan masyarakat, seperti penggunaan Ziswah untuk social movement. Hanya saja, ini adalah tahap yang sudah cukup jauh. Merupakan prestasi besar bila pola karitas yang ada di Indonesia saat ini bisa berkembang menjadi pola pemberdayaan. Akhirnya, jika ingin melihat harta Ziswah lebih bermanfaat dari apa yang terjadi saat ini, maka sebetulnya tugas pengumpulan itu jauh lebih mudah daripada pendistribusian, bertanggungjawab kepada muzakki itu jauh lebih mudah daripada bertanggungjawab kepada penerima (mustahiq).
oo0oo

Tuesday, April 30, 2013

Islamist parties try to be less Islamist

Ariel Heryanto, Victoria, Australia | Opinion | Sat, June 07 2008, 11:24 AM

Fear has prevailed in the lives of Indonesians for much too long. The reign of fear has affected both the state and ordinary people. Cognizant of its credential deficit in both Islamic politics and democracy, successive governments have felt compelled to demonstrate sympathetic gesture to the Muslim communities, sometimes stronger than actually believed.
To appreciate better the argument presented above, it is worth comparing the behaviors of the past and present governments with those of former president Abdurrahman "Gus Dur" Wahid. With abundant Islam credentials in hand, never at any time did Wahid need to prove that he was pro-Islam. So much so that he could afford to demonstrate the opposite. Instead of calling for jihad against the enemies of Islam, Wahid did almost the extreme opposite.
Flamboyantly he displayed some of the best possible favors a Muslim leader could do for minority groups in a Muslim-majority nation. Not only did he restore the ethnic Chinese's civil right to celebrate the Chinese New Year, he even went as far as claiming to have some distant Chinese ancestry.
In contradiction to the repressive rules and regulations from the old regime, Wahid supported inter-religious marriage. He offered a public apology to the victims of the 1965 killings and their families, as well as to the people of East Timor for violence the previous government had committed.
Until last April, my observation of Islamization was narrowly focused on its effect on the secular state in Muslim-majority nation such as Indonesia, and by extension Malaysia and Pakistan. But two recent and separate analyses have helped me see things in a broader perspective. The first comes from Iran-born Amir Taheri, and the second comes from India-born Sadanand Dhume. Both are well traveled, and both have worked for years as journalists.
In his article, "Why Islamists Don't Win Elections?" first published in The Wall Street Journal, Amir Taheri offers a long list of cases from many countries where the Islamization of political parties has consistently led to election defeats, including Malaysia, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran and Turkey. His conclusion is unequivocal:
"So far, no Islamist party has won a majority of the popular vote in any of the Muslim countries where reasonably clean elections are held. Often, the Islamist share of the votes has declined. In Malaysia, the Islamists have never gone beyond 11 percent of the popular vote," Taheri wrote.
"In Indonesia, the various Islamist groups have never collected more than 17 percent. The Islamists' share of the popular vote in Bangladesh declined from an all-time high of 11 percent in the 1980s to around 7 percent in the late 1990s. Even in once-Taliban dominated Afghanistan, Islamist groups, including former members of the Taliban, have managed to win only around 11 percent of the popular vote on the average. In the Middle East and Arab nations Islamists don't fair much better," he wrote.
It was my understanding that in response to perceived threats from the opposition Partai Islam Se-Malaysia (PAS) in the late 1970s, the incumbent United Malays National Organization (UMNO)-dominated government underwent a face-lift, trying to appear to be more Islamic than PAS.
I used to believe this at least partly explains UMNO's resilience. Successive governments in Indonesia followed suit. But Taheri shows the last elections in Malaysia gave the opposite outcome. PAS won more seats (from 6 to 23), while UMNO suffered the most severe defeat since 1969. Why? According to Taheri, UMNO's Badawi played "the Islamic card, while PAS leader Abdul Hadi Awang went in the opposite direction".
Similar trends can be observed in Indonesia. Since his electoral victory in 2004, President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) has become increasingly Islam-oriented. In contrast, the most overtly and strongest Islamist party, the Prosperous Justice Party (PKS), has consistently traded in its Islamist look and agenda for more inclusive strategies and rhetoric. Two questions follow. Has Malaysia's PAS taken the lesson from the PKS? And why have President SBY's advisers not taken the lesson from Badawi's defeat?
Sadanand Dhume is more pessimistic than Taheri or myself about the possible outcomes of global Islamization. One country where Islamization has been the focus of Dhume's examination is Indonesia. What has worried Dhume is not just the safety of one or two minority groups currently under attack. Rather, as he writes in a column in the Journal, "(w)hat kind of country does Indonesia want to be? Will it be, as its founding fathers envisioned, a land where people of all faiths live as equals, or one where non-Muslims and heterodox Muslims are effectively second-class citizens? Will it be a country that respects an individual's right to worship as he pleases, or indeed not to worship at all, or one where such matters are determined by safari-suited officials and bearded clerics? Will it be ruled by the law or by the mob?"
At first, that sounds a very common concern among many moderate and liberal Indonesians for the past few years. Dhume has just published his first book, My Friend the Fanatic, a product of four years of travel in many parts of Indonesia and conversations with people of diverse backgrounds. The book's title refers to an important figure in Islamist circles who traveled with him and helped him open the doors to other Islamist leaders and supporters.
In late May, Dhume visited Sydney and Melbourne for a writer's festival and a series of promotional activities for his book.
At the risk of being rude, I asked him what precisely is "new" in his contribution to the ongoing debate over this matter. His response was firm and fresh: "My contribution stems from a skeptical view of religious belief that is extremely rare or non-existent in Indonesia. I don't believe that we should tiptoe around our opposition to terrible ideas even if they cloak themselves in the legitimacy of religion. This starting point sets me apart from the liberal mainstream in Indonesia."
Describing himself as a liberal and atheist, Dhume distanced himself from both the political left and right. To answer my question, he added: "(w)hat is lacking in Indonesia is the space to be openly skeptical of religion. Religious discourse is effectively a kind of protected discourse. Now while I admire groups like JIL (Liberal Islam Network), I also believe that you can't win the important arguments that need to be won with fundamentalists simply by trading interpretations of scripture."
The situation that both Taheri and Dhume perceptively analyzed has been made possible by the systematic annihilation of the left in Indonesia since 1965. The absence of the intellectual left has also been significantly responsible for the lack of irreligious criticism of religious orthodoxy and other violent-inclined vigilantes in the name of a religion.
The writer is a senior lecturer in the Indonesian Program, the University of Melbourne, Australia. He can be reached at arielh@unimelb.edu.au
 
http://www.thejakartapost.com/news/2008/06/07/islamist-parties-try-be-less-islamist.html

Monday, April 29, 2013

When governments try to look more Islamic

Ariel Heryanto, Victoria, Australia | Opinion | Fri, June 06 2008, 1:15 AM

The use and abuse of Islamic politics by the Soeharto government (1966-1998) and his immediate successor in transition, BJ Habibie (1998-1999), have had more damaging consequences than generally noted. In 2004, when completing my book, State Terrorism and Political Identity in Indonesia (Routledge, 2006), I raised the issue but did not give enough emphasis. The book focuses on the impacts of the 1966 massacres and subsequent anti-communist witch hunt upon public life in the 1990s.
The book mentions in passing the impact of that murky past has also been partly responsible for other inter-ethnic conflicts across the nation in the 2000s with no reference to 1965 or anti-communism. Since then it has become increasingly clear that further study is needed to examine how and the extent to which the same past has been responsible for the politics of religion since the 2000s.
After more than a decade of repressing political Islam, Soeharto found himself in a radically changing political climate. He was increasingly alienated from the military as an institution, and Islam was on the rise at home and globally.
He was cognizant that further repression would only backfire, if not be suicidal. In a spectacular political U-turn, in 1990 he hurriedly Islamized himself and his government apparatus in a wide range of policies and actions.
To build his Islamic credentials from scratch, that year he went to Mecca for the first time for the pilgrimage, and returned as a haj. In the same year he sponsored the founding of the Association of Indonesian Muslim Intellectuals (ICMI), embracing a wide range of important figures among Islam-oriented social organizations, professionals, academics and political activists who may not necessarily have agreed with each other on a number of issues.
Far from feeling manipulated by the government, as some critics argued back then, these Muslim intellectuals saw the invitation to collaborate with the regime as the first opportunity in many decades to gain due recognition. It appeared to be a golden opportunity to compensate for what had been denied or repressed, namely Islam as an important moral, intellectual and political power to be reckoned with.
Only months before the founding of the ICMI, Islamic political prisoners were released en masse well before their jail terms were up. In direct contradiction to its own policy of not issuing any new permits for print media companies, the government supported the publication of the overtly Islamic daily Republika. The ban of the wearing of the jilbab was also lifted. Immediately after, Soeharto's eldest daughter began appearing in public wearing a headscarf. The number of new mosques soared, and the parliament house was described by locals as remarkably "green-ized".
Until then it had been difficult for pious Muslims to express their identity and religious piety, due to the vigorous stigmatization of Islamic politics as "extreme right". From 1990 the situation was completely reversed: one had to be careful not to be seen as anti-Islam. Indonesian courts were busy prosecuting individuals who made public statements deemed disrespectful of Islam.
The banning of the country's first and commercially most successful tabloid, Monitor, and subsequently the prosecution of its editor, Arswendo Atmowiloto, were among the first and most eventful in a long series of similar cases involving a crackdown on media outlets seen as having been disrespectful of Islam.
Violent attacks against houses of worship belonging to religious minorities became regular events, despite criticism and attempts among moderate Muslims to stop such actions.
More consequential than all of this was Soeharto's decision to make a dangerous liaison with the more violent-inclined segments within the diverse Muslim communities. His short-term intention was probably to mobilize the latter to counter the pro-democracy movement that was putting increasingly greater pressure on him to resign.
But perhaps more than he could anticipate, care or control, the effects of this move were immense and refractory. None of the above saved Soeharto from losing his grip on state power. Reluctantly, he transferred his presidency to vice president Habibie, who soon become the next target of attacks from the pro-reform movement.
Seriously lacking legitimacy in public, Habibie and the few surviving generals continued what Soeharto had initiated, only this time on a larger scale and more aggressive fashion. New state-sponsored militias were officially trained and deployed to confront physically the agitated pro-reform activists.
These militias did not only act in defense of the new president and surviving generals, but also in the name of Islam. Being anti-Habibie was declared to be the same as anti-Islam, according to their slogans and banners. As in Soeharto's case, these militias did not help rescue Habibie's presidential seat. Worse still, they inadvertently aggravated the politicization of religious faith to a level unprecedented in the history of this country.
But unlike its predecessors, which had no hesitation from the outset to adopt violent means to achieve similar ends, the current government has as yet restricted its project of building a pro-Islamic image in cultural and technological spheres.
But before breathing a sigh of relief, one needs to see how long this government has condoned the illegal act of violence by various militia groups in the name of religion. How much longer will it continue? Not only has this government and its law enforcers give impunity to fairly small but militant groups to go on the rampage, more worrying is that the government, under pressure from other social groups, is seriously considering a ban on Islamic group Ahmadiyah.
More than could be imagined in 1998, by now reformasi has led to the marked Islamization, as much as democratization, of Indonesia. Although they can be compatible and have overlap, the two are not necessarily one and the same thing, as there can be more than two streams of Islam, multiple forms of Islamization and heterogeneous communities of Muslim. The state is expected to play a critical role in striking a good balance and maintaining the wealth of this nation's plurality.
A weak state would allow fear to reign in the public space, especially among the minority, because it also suffers from the very same fear of the risk of acting independently according to the rule of law. In a small way, such rule by fear is well illustrated by the fate of my own April opinion column about the above in Indonesian.
The essay was submitted to a major Indonesian media outlet by invitation for a specific space already allocated in the paper. Hours before the paper went to press, I received a letter from the editor advising me that the column could not be published, as it was deemed "risky".
Interestingly, while the column never saw the light of day in print, it appeared online on the same paper's website. The Indonesian Constitution stipulates freedom of expression, but to date such freedom can only take refuge on the Internet.
Today, the Internet is the only public space where hundreds of thousands of Indonesians can and have actually declared themselves to be religiously "liberal", "atheist" or "agnostic" in their profiles on cyber social networking sites such as Facebook.
The writer is a senior lecturer in the Indonesian Program, the University of Melbourne, Australia. He can be reached at arielh@unimelb.edu.au.
 
http://www.thejakartapost.com/news/2008/06/05/when-governments-try-look-more-islamic.html