Sunday, May 30, 2010

Sekularisme: Ketika Kaum Muslimin Terkotak-kotak (Analisis Terhadap Perempuan Berkalung Sorban)

Oleh Nur Alfa Rahmah

l34484707706_9048Harus diakui. Sebagai sebuah karya sastra popular, film Perempuan Berkalung Sorban memang patut diacungi jempol. Pengambilan gambar, penokohan, setting diksi, serta instrumen-instrumen pendukung lainnya memang bisa dibilang sempurna. Dibandingkan dengan Ayat-ayat Cinta, buah karya Hanung Bramantyo yang satu ini jauh lebih natural dan memuaskan. Jika Ayat-ayat Cinta terkesan masih kasar, minim referensi dan terkadang maksa, maka film yang satu ini terkesan sangat matang, penuh referensi dan cukup relevan dengan fakta.

Keunikan yang paling menonjol dari film Perempuan Berkalung Sorban adalah pengangkatan fenomena pondok pesantren, sebuah komunitas yang meskipun menjamur di seluruh Indonesia, namun cerita tentang segala lika-likunya masih jarang terjamah oleh masyarakat luas. Kebanyakan, masyarakat hanya tahu bahwa anak lulusan pondok pesantren itu meskipun paham agama tapi kolot, kuper, polos, dan buta akan dunia luar. Pada sebagian kasus, hal ini mungkin benar, tetapi sungguh tidak bijak jika kasus yang kasuistik ini digeneralisir pada seluruh pondok pesantren. Sebab, tiap pondok pesantren memiliki sistem pengelolaan yang berbeda-beda, sehingga kemajuannya pun tentu berbeda. Fenomena pondok pesantren yang diceritakan dalam Perempuan Berkalung Sorban mungkin memang ada, tapi kita juga tidak boleh lupa kalau itu cerita fiksi. Dan fiksi, meskipun berlatarkan kisah nyata, tetap tidak meninggalkan bumbu-bumbu tragedi sebagai pemanis, yang seringkali hanya imajinasi penulis atau sutradara.

Terlepas dari apakah film ini bertujuan untuk meciptakan citra negatif tentang Islam atau tidak, ada suatu kebenaran penting yang perlu menjadi perhatian bersama—atau justru keprihatinan—yang ditunjukkan dalam film ini, yaitu adanya gap antara pondok pesantren dengan masyarakat umum. Bagi dunia pesantren, masyarakat umum adalah dunia luar yang penuh dengan kemaksiatan, sebuah pintu yang terlarang untuk dimasuki. Lalu bagaimana dunia luar memandang pesantren? Nampaknya istilah ‘penjara suci’ cukup tepat mewakilinya. Istilah ini tidak hanya diakui baik oleh komunitas masyarakat awam, tapi juga oleh komunitas pesantren itu sendiri, terutama para santrinya.

Gap yang terjadi ini tentunya sangat memprihatinkan. Gap ini semakin memperjelas bukti betapa sekularisme telah mengakar begitu dalam di negeri kita, yang notabene dihuni oleh mayoritas kaum muslimin. Gap antara pondok pesantren dan masyarakat awam seakan menguatkan stigma bahwa agama benar-benar terpisah dari duniawi. Dikotomi antara kaum ulama, politikus, saintis, dan sastrawan pun semakin nyata. Coba perhatikan bagaimana respon pengasuh pondok Al-Huda ketika menemukan buku-buku sastra yang dibawa Annisa ke pondok tersebut. Suatu hal yang ironis.

Betapapun buruknya masyarakat kita sekarang, penutupan diri kaum pondok pesantren terhadap dunia luar tidak bisa dibilang memberi solusi. Sebab, para santri yang notabene berada pada masa pubertas masih labil dalam berpikir dan menentukan sikap. Proses pencarian jati diri mereka seringkali tidak terakomodir dengan baik oleh pihak pondok, yang akhirnya menuntut mereka untuk mencari pemuasan intelektual dan emosional dari pihak-pihak lain di luar pondok. Di sinilah kekhawatiran terbesar yang patut disikapi dengan bijak.

Ada satu analogi bagus yang perlu direnungkan pihak pondok pesantren. Ketika seorang ibu menemukan anaknya tenggelam di sungai, ia dihadapkan pada dua pilihan: menyelamatkan anaknya lalu melakukan segala cara agar sang anak selalu berada jauh dari sungai, atau justru mengajarinya berenang. Apa yang dilakukan pondok pesantren sejauh ini seringkali adalah yang pilihan pertama. Memang benar, ketika santri berada dalam lindungan dan pengawasan pondok, ia akan selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi pondok hanyalah partikel kecil dari dunia dan masa di pondok hanyalah sepersekian bagian dari umur seorang anak Adam. Cepat atau lambat, santri akan berhadapan dunia luar yang menawarkan sejuta pilihan hidup beserta konsekuensinya. Apa yang harus dilakukan pondok bukanlah mendoktrin, menghukum, dan memenjara hingga santri dewasa, tapi memberi pemahaman dan pola berpikir yang shahih serta jawaban atas segala kebimbangan mereka agar mereka siap menghadapi dunia luar yang tak kenal ampun.

Retrieved from: http://liandcy.wordpress.com/2009/11/06/sekularisme-ketika-kaum-muslimin-terkotak-kotak-analisis-terhadap-film-perempuan-berkalung-sorban/ (May 30, 2010)

Tuesday, May 25, 2010

A ‘difficult marriage’: Sharia and civil law in Indonesia

The Jakarta Post | Fri, 05/21/2010 6:09 PM | Opinion

Monday, May 17, 2010

Sekularisasi Partai Politik Islam

Kompas, Rabu, 28 April 2010 | 04:15 WIB
istimewa

Oleh R.N. Bayu Aji*

Wacana sekularisasi yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid selaku cendekiawan muslim sempat ramai diperbincangkan di negeri ini. Beliau pertama kali mempublikasikan ide pembaruannya itu di majalah Arena dan secara tegas dikemukakan dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki Jakarta tahun 1970.

Pengertian sekularisasi menurut Nurcholis Madjid berangkat dari pola pemikiran dan pemahamannya bahwa islam sebenarnya berawal dari bentuk perkembangan yang membebaskan. Pemikir yang akrab disapa Cak Nur ini kemudian menjelaskan bahwa sekularisasi merupakan istilah teknis dan tidak sama dengan sekularisme.

Buku yang ditulis oleh Irsyad Zamjani dengan judul Sekularisasi Setengah Hati: Politik Islam Indonesia dalam Periode Formatif ini hendak mengungkapkan sekularisasi yang dilakukan oleh partai politik islam jauh sebelum Cak Nur mengungkapkan konsep sekularisasi. Namun, konsep sekularisasi Cak Nur memiliki peran penting sebagai landasan konseptual buku ini dalam menganalisa kelompok islam di Indonesia.

Sebelum mengulas sekularisasi partai politik islam, Irsyad mengajak pembaca buku ini untuk menelusuri titik pangkal sekularisasi di Indonesia dari sudut pandang historis. Di negara-negara Islam di Asia dan Afrika, ideological broker dari proses sekularisasi tidak bisa terlepas dari modernisme islam dan sosialisme yang menggejala dari Turki era Mustafa Kemal Ataturk dan Mesir era Gamal Abdul Nasser.

Kedua hal tersebut mengkonversi islam tradisional kepada suatu humanisme-pragmatisme sekuler yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Menurut Irsyad, arus besar gagasan sosialisme yang telah ada sejak awal abad dua puluh di Indonesia melapangkan jalan bagi pencarian legitimasi teoritis perjuangan nasional anti-imperialisme maupun penemuan identitas baru dalam islam.

Sosialisme dengan cepat menginfiltrasi organisasi massa terbesar di Indonesia (Hindia-Belanda) seperti Sarekat Islam (SI) dan organisasi intelektual mahasiswa paling berpengaruh yakni Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda. Perpaduan modernisme Islam asal Timur Tengah dan sosialisme inilah yang kemudian hari juga membentuk ideologi partai politik islam seperti Masyumi, PSII, Perti, dan NU.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan modus sekularisasi islam itu sendiri?

Munculnya berbagai organisasi pergerakan pada awal abad XX di tanah air tidak selalu disertai oleh alasan-alasan yang bertujuan sebagai unifikasi komunitas kebangsaan (Indische Partij, Sarekat Islam, Perhimpunan Indonesia), etnisitas (Budi Utomo, Jong Java, Jong Celebes, dsb.), atau ideologi (ISDV, SI, PKI). Kemunculan organisasi itu juga bisa dimaknai sebuah upaya subyektif para pendirinya untuk membentuk atau mengukuhkan komunitas baru.

Pembentukan organisasi-organisasi tersebut lebih bertujuan mentransformasikan sebuah tradisi yang telah ada ke dalam bentuk yang lebih baru. Hal ini menjadi ciri khas dari pergerakan-pergerakan yang muncul atas nama islam. Kemunculan organisasi tersebut ternyata mentransformasikan umat islam ke dalam identitas-identitas politik-kultural dan ideologi baru.

Muhammadiyah yang muncul pada tahun yang sama dengan Sarekat Islam membentuk komunitas islam modernis bersama Persatuan Islam (1920), Persyarikatan Ulama (1911), Jam’iyat Khair (1905) dan Al-Irsyad (1913) di Jawa dan Persatuan Muslimin Indonesia (1929) di Sumatera. Di sisi lain, Nahdlatul Ulama (1926) di Jawa bersama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1930) di Sumatera membentuk komunitas islam tradisional.

Umat Islam Indonesia sebelumnya tidak pernah terkotak dalam kelompok-kelompok yang pada gilirannya membentuk komunitas ideologis ini. Setidaknya ada tiga alasan yang menjadi latar belakang pembentukan kelompok-kelompok ini yakni kebutuhan akan eksistensi, tuntutan modernisasi dan konflik kepentingan (hlm. 55-56).

Pada awal kemerdekaan, konsolidasi politik untuk merumuskan bentuk negara mutlak diperlukan. Kelompok-kelompok islam baik yang dianggap “modernis” maupun “tradisional” sebagai wakil islam dengan kelompok nasionalis sekuler seperti PNI, PKI dan PSI dalam tataran praktiknya lebih mengedepankan pentingnya menegakkan negara baru yang multikultur daripada berkeras memaksakan syariat islam.

Dengan bukti itulah, Irsyad menyimpulkan proses sekularisasi partai politik islam di Indonesia dalam rumusan bentuk negara merupakan bentuk nyata sekularisasi itu sendiri. Ada tiga aspek yang bisa jadikan untuk mengidentifikasi sekularisai partai politik islam di Indonesia.

Pertama, yakni sekularisasi pada tataran basis legitimasi dengan mengurangi peran-peran ulama. Hal itu ditunjukkan oleh Masyumi saat mengerdilkan dewan syuro yang banyak dihuni oleh kiai NU. Selanjutnya dapat dilihat dalam tubuh PSII yang tidak memiliki lembaga khusus yang menampung suara ulama.

Kedua, sekularisasi identitas kelompok yang merupakan jalan pembangunan identitas baru dalam partai politik islam. Pembangunan identitas itu ditegaskan dengan penyebutan istilah partai islam tradisionalis-lokal (PNU, Perti), kosmopolit-modernis serta modernis-konservatif.

Ketiga, sekularisasi sebagai pragmatisasi sebagai akibat dari liberalisme politik selama era demokrasi parlementer. Sikap pragmatis tersebut seringkali diterapkan melalui visi dan ideologinya. Partai islam kecil seperti Perti dan PSII karena tuntutan perluasan pengaruh akhirnya lebih menjadi petualang politik sehingga harus kompromi dengan PKI yang jelas secara ideologi berbeda.

Sedangkan Masyumi lebih menonjolkan perbedaan pandangan yang bersifat individualis seperti kasus antara Natsir dan Soekiman dalam persoalan ekonomi. Sementara kasus NU seringkali para ulamanya menyiapkan diri mereka sebagai ”penjamin keabsahan” tindakan pragmatis para politisinya.

Secara teoritik, sebenarnya politisi islam masih ingin menunjukan bahwa mereka bagian dari perjuangan politik islam. Namun seringkali tidak memiliki kejelasan format perjuangan. Secara ideologi islam politik tidak bisa dihapuskan. Akan tetapi partai politik islam lebih nyaman menyusuri jalan demokrasi sekuler.

Selain membahas sekularisasi pada saat periode formatif (1945-1945), Irsyad dalam epilognya juga menganaliasa sekularisasi partai politk islam di era reformasi. Terdapat modus baru yang dilakukan oleh partai politik islam yakni dari islam politik menjadi islam populer untuk mendulang suara dalam pemilu atas nama islam itu sendiri.

Meskipun buku ini terkesan serius, namun wacana yang dilemparkan oleh penulisnya mengenai sekularisasi partai politik di Indonesia tidak akan pernah usang. Buku ini mermanfaat bagi semua kalangan, baik akademisi, paraktis politik, mahasiswa untuk memahami sejarah panjang sejarah politik islam dan sekularisasi partai politik islam.

* R.N. Bayu Aji
Penulis Buku, Alumnus Departemen Ilmu Sejarah Unair
Peneliti HISTra (History Institute for Society Transformation)

Penulis : Irsyad Zamjani
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta
Cetakan : Pertama 2010
Tebal : xxxiv + 265 Halaman
Ukuran: 15 x 21 cm

Thursday, May 13, 2010

Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate

Journal of Southeast Asian Studies, 36 (3), pp 419–440 October 2005. Printed in the United Kingdom.
© 2005 The National University of Singapore doi:10.1017/S0022463405000238

Nadirsyah Hosen*

This article examines the recent debate on the position of syari’ah in Indonesian constitutional amendments (1999–2002). The article operates at two levels: a historical review of the debate on Islam and state in Indonesia and a theoretical effort to situate the Indonesian debate in the broader context of debates over Islam and constitutions. It argues that the rejection of the proposed amendment to Article 29, dealing with Islam, has shown that Indonesian Islam follows the substantive approach of syari’ah, not the formal one.

*Nadirsyah Hosen is a Postdoctoral Research Fellow at the Centre for Public, International and Comparative Law (CPICL), TC. Beirne School of Law, University of Queensland. His email contact is nhosen@yahoo.com.au. The author is indebted to Gary Bell, Arskal Salim, I.B. Watson, Ian Lewis and the anonymous readers who carefully and critically read the earlier drafts. All opinions and errors are, of course, those of the author.

Muslim Indonesia's Secular Democracy

Abstract
Asian Survey
July/August 2009, Vol. 49, No. 4, Pages 575–590 , DOI 10.1525/as.2009.49.4.575
Posted online on August 26, 2009.
(doi:10.1525/as.2009.49.4.575)

Muslim Indonesia's Secular Democracy

Saiful Mujani‌
Saiful Mujani is Executive Director, Lembaga Survei Indonesia, and Researcher at the Freedom Institute in Jakarta. Email: .
R. William Liddle‌
R. William Liddle is Professor of Political Science at Ohio State University, Columbus, Ohio, U.S.A. Email: .

After a decade of democracy, secular political parties dominate Muslim-majority Indonesia. Explanations include a historical pattern of religious pluralism, policies of President Suharto's New Order, creative Muslim responses to those policies, a large majority of moderate Muslim voters, and ineffective voter mobilization by Islamist parties today.

PDF (194.411 KB) PDF Plus (196.757 KB)