Monday, April 1, 2013

Filantropi untuk Masyarakat Madani

Republika, Sabtu, 26 Juni 2004
http://www.republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16

Oleh : Ahmad Najib Burhani

"Sangat banyak organisasi non-profit yang secara finansial stagnan. Mereka menggali dan mendistribusikan dana dengan cara yang sama selama beberapa dekade.... Secara definisi, organisasi non-profit yang mencari profit terlihat seakan kontradiktif. Namun sebetulnya tidak demikian." Bill Shore, Revolution of the Heart

Tulisan Azyumardi Azra di Resonansi Republika (17/6) yang berjudul "Filantropi untuk Keadilan Sosial" sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Tulisan itu di antaranya mempertanyakan nasib LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Indonesia jika lembaga-lembaga donor dari luar negeri menghentikan bantuannya. Resonansi itu juga menyinggung tentang independensi LSM-LSM yang memiliki ketergantungan kuat kepada pihak asing. Menarik untuk dikaji juga karena tulisan itu menyinggung tentang besarnya potensi dana dari bangsa Indonesia sendiri untuk menggerakkan LSM-LSM.

Potensi dana dari bangsa Indonesia yang dimaksudkan oleh tulisan Rektor UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta itu terutama adalah dana zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah
> (Ziswah). Pertanyaannya adalah berkaitan dengan pemanfaatan dana
> Ziswah itu untuk hal-hal yang di luar metode tradisional dalam
> pendistribusian dan pemanfaatan Ziswah. Pertanyaan lain yang tak
> kalah penting adalah bagaimana caranya agar dana Ziswah itu tidak
> berfungsi semata konsumtif atau jangka pendek, tapi dana revolving,
> produktif, berkembang, berfungsi maksimal dan membantu sebanyak-
> banyaknya masyarakat.
>
> Dalam pemahaman dan praktik tradisional, pemanfaatan dana zakat,
> infak, dan sedekah (Zis) biasanya ditekankan pada fungsi relief
atau
> diberikan langsung dalam bentuk uang dan makanan. Sementara wakaf,
> biasanya hanya dalam bentuk tanah dan digunakan untuk pembangunan
> masjid atau madrasah. Delapan kelompok yang berhak menerima zakat
> (ashnaf) yang terdiri dari fakir, miskin, amil, gharim (orang yang
> berhutang), mualaf, ibnu sabil, sabilillah, dan budak biasanya
> menerima langsung bantuan tanpa tersistematisasikan dengan baik.
Ini
> adalah model pemahaman skripturalis atau tekstualis dari ajaran
> agama. Memang, cara-cara tradisional itu masih perlu dilakukan
dalam
> konteks masyarakat di Indonesia.
>
> Banyak warga negeri ini yang masih membutuhkan bantuan yang
bersifat
> segera. Namun cara ini harus diiringi dengan upaya-upaya
pemberdayaan
> atau pengentasan kemiskinan yang sistematis. Pemberdayaan itu
> dilakukan agar orang-orang yang lemah bisa terentaskan dari
> kemiskinannya secara permanen, bahkan meningkat statusnya menjadi
> muzakki (orang yang berzakat), bukan mustahik (penerima zakat)
lagi.
> Terlebih lagi, potensi dana zakat yang menurut Zaim Saidi (2003)
> mencapai Rp 7,5 triliun per tahun tentu sulit untuk bisa membantu
> banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Berdasarkan laporan
Bank
> Dunia, dengan garis kemiskinan yang digunakan adalah 2 dolar per
> hari, maka pada tahun 2002, sekitar 55,1 persen dari penduduk
> Indonesia masuk dalam kategori miskin. Dari angka itu dapat
diketahui
> bahwa lebih dari 100 juta penduduk Indonesia adalah orang-orang
yang
> berhak menerima bantuan dari harta zakat yang potensinya mencapai
Rp
> 7,5 triliun tersebut.
>
> Upaya-upaya pemberdayaan
> Sebetulnya, praktik dan program pemberdayaan untuk mewujudkan
> keadilan sosial telah dilakukan oleh beberapa lembaga dengan
> menggunakan dana Ziswah. Hanya saja informasi ini belum banyak
> diketahui oleh masyarakat. Di samping karena informasi tentang
> penggunaan dana Ziswah di media massa dan laporan-laporan
penelitian
> lebih ditekankan pada kegiatan yang bersifat charity atau services
> (pelayanan), lembaga-lembaga pengelola Ziswah sendiri juga sangat
> minim mengungkapkan kegiatan-kegiatan pemberdayaan mereka kepada
> publik.
>
> Dompet Dhuafa Republika (DDR), misalnya, memiliki beberapa program
> pemberdayaan masyarakat. Program-program itu di antaranya adalah
> Ittara (Industri Tepung Tapioka Rakyat), TDS (Ternak Domba Sehat),
> Lembaga Keuangan Mikro yang berupa BMT (Baitul Maal Wattamwil),
> Swalayan, Depo Pengasong dan Grosir, Masyarakat Mandiri (MM), UHT
> (Usaha Hasil Tani), Budidaya Pisang Terpadu, dan Toko Amanah Liwa.
> Bahkan, LSM ini menyalurkan lebih dari 50 persen dana yang
> diterimanya untuk program-program pengentasan kemiskinan melalui
> upaya pemberdayaan.
>
> Meski memberikan penekanan pada aspek ekonomi, namun pemberdayaan
itu
> ditujukan juga kepada aspek kehidupan yang lain, seperti agama,
> politik, dan sosial. DDR berusaha untuk menciptakan pemberdayaan
yang
> bersifat terpadu. Masyarakat diberi modal dan dilatih untuk
mandiri.
> Mereka juga dididik untuk memiliki dan mengembangkan nilai
kejujuran,
> kerja keras, dan bertanggung jawab. Tanpa upaya pemberdayaan yang
> terpadu, maka kemandirian masyarakat yang tercipta akan mudah roboh
> lagi. Program Masyarakat Mandiri (MM), misalnya, ditujukan untuk
> memberdayakan masyarakat paling miskin di suatu daerah tertentu.
>
> Pada awalnya, program ini dilaksanakan di 10 desa di wilayah
Jakarta,
> Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Namun saat ini baru empat desa yang
> berhasil diberdayakan, yaitu desa Rancalabuh (Tangerang), Buana
Jaya
> (Bogor), Suka Wijaya (Bekasi), dan Muara (Teluk Naga). Kegiatan
yang
> dilakukan di desa-desa itu antara lain pelatihan, pemberian mikro
> kredit, dan advokasi, atau pendampingan secara intensif. Dari
proses
> awal memasuki desa-desa tersebut hingga mereka menjadi mandiri
> diperlukan waktu lebih dari 4 (empat) tahun.
>
> Kini desa Rancalabuh, misalnya, telah menjadi daerah peternakan
bebek
> dan penghasil telur bebek yang cukup maju dan produktif, di samping
> memiliki usaha-usaha lain yang mampu membebaskan masyarakat dari
> kemiskinan. Program-program yang dilakukan oleh DDR di atas adalah
> program-program ekonomi riil dan banyak persamaannya dengan program-
> program yang dilakukan oleh LSM-LSM.
>
> Bedanya, program-program yang dilakukan oleh DDR didanai oleh
> masyarakat Indonesia sendiri, tidak bergantung pada bantuan asing
> yang kadang dicurigai memiliki kepentingan-kepentingan tertentu.
> Program-program itu tidak saja berhasil menciptakan kesejahteraan
> ekonomi orang-orang miskin, tapi juga meningkatkan kesalehan hidup
> mereka, kesadaran terhadap demokrasi, dan juga kepedulian untuk
ikut
> membebaskan saudara-saudaranya yang masih dalam kondisi papa.
Social
> entrepreneurship (SE) Sekarang, bagaimana caranya agar dana sosial
> itu bisa revolving, produktif, dan mampu membebaskan masyarakat
> miskin sebanyak-banyaknya?
>
> Bila sumbangan dari negara-negara asing bisa berhenti, maka dana
> zakat sebetulnya tak bisa berhenti selama umat Islam masih ada.
> Persoalannya adalah bagaimana agar dana zakat yang potensinya Rp
7,5
> triliun itu bisa, idealnya, membebaskan lebih dari 100 juta
penduduk
> miskin di Indonesia. Dalam konteks dana sosial non-Ziswah,
bagaimana
> fungsi sosial tetap dijalankan, namun dana tidak habis terpakai,
tapi
> justru terus berkembang. Dari sinilah lantas berkembang konsep
> tentang social entrepreneurship (SE) atau kewirausahaan sosial.
> Istilah SE adalah istilah baru, diciptakan pada dekade belakangan
> ini.
>
> Namun demikian, ide dan praktik-praktik SE sudah diterapkan sejak
> dahulu. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan tentang
penggunaan
> prinsip-prinsip bisnis atau wirausaha dalam praktik-praktik
> pengabdian sosial, memperlakukan usaha dan lembaga sosial dengan
> pendekatan bisnis, menggabungkan kesabaran dalam menjalankan misi
> sosial dengan agresivitas dan ambisi dalam wirausaha. Prinsip-
prinsip
> wirausaha itu dinilai sebagai cara yang efektif dan efisien dalam
> mengemban misi sosial sehingga hasilnya bisa maksimal dan
menjangkau
> target yang luas.
>
> Lantas, apa perbedaan antara social entrepreneurship (SE) dan
> business entrepreneurship (BE)? Orientasi dari BE adalah materi,
> uang, dan keuntungan pribadi. Sementara orientasi SE adalah misi
> sosial. Di sini, tempat misi sosial adalah sangat sentral. Kriteria
> keberhasilannya bukan seberapa banyak kekayaan dan harta yang
> dimiliki, tapi seberapa besar dampak sosial yang diraih. Kekayaan
dan
> materi itu hanyalah sarana untuk mencapai misi sosial. Lagi-lagi
> upaya yang dilakukan oleh DDR perlu dijadikan contoh. Ittara
> (Industri Tepung Tapioka Rakyat), TDS (Ternak Domba Sehat), Depo
> Pengasong dan Grosir, UHT (Usaha Hasil Tani), dan Budidaya Pisang
> Terpadu adalah beberapa program milik DDR yang memiliki kemiripan
> dengan SE.
>
> Usaha-usaha itu memang menghasikan kekayaan. Namun kekayaan itu
> ditujukan kepada orang-orang miskin yang menjadi konstituennya.
> Ittara, misalnya, pada awalnya adalah industri tepung tapioka milik
> masyarakat Lampung yang tertatih-tatih dan mau mati. DDR lantas
> memberi modal, pelatihan, dan bantuan pengelolaan. Industri ini
> menggunakan tenaga-tenaga orang miskin yang ada di sekitar lokasi
> pabrik. Melalui proses yang panjang, akhirnya Ittara mampu bersaing
> dengan industri-industri besar milik para konglomerat dan menjadi
> percontohan di daerah Lampung.

No comments:

Post a Comment