Thursday, October 4, 2012

Menyambut KUII ke-4, 17-21 April 2005: Mendayung antara Neoliberalisme dan Neofundamentalisme Islam



By Ahmad Najib Burhani*

Apa persoalan penting yang melatarbelakangi diselenggarakannya KUII (Kongres Umat Islam) ke-4 di Jakarta pada 17-21 April 2005 ini? Dalam sejarahnya, KUII selalu hadir karena adanya masalah serius yang dihadapi umat Islam.  KUII pada 1930-an dilatarbelakangi oleh hancurnya kekhilafahan Islam di Turki, Pan-Islamisme, pergolakan di Hijaz, dan keterbelakangan umat Islam. Komite Khilafat lahir pada kongres-kongres di tahun itu. KUII pada 1940-an lahir karena perjuangan kemerdekaan dan peran politik umat Islam yang tak menguntungkan. Dari sinilah lantas terbentuk Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik umat Islam.

Pasca kemerdekaan, KUII telah digelar tiga kali, yaitu 1945, 1949, dan 1998. KUII 1998 diadakan untuk merespon euphoria politik di Indonesia pasca kejatuhan rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Meski KUII tahun itu tidak melahirkan keputusan yang cukup berpengaruh bagi kehidupan umat Islam di Indonesia, namun ia telah mencoba untuk merespon berbagai persoalan umat Islam kontemporer, seperti hubungan Islam dan negara, Islam dan partai politik.

Barangkali, persoalan paling serius yang dihadapi umat Islam pasca 1998 dan yang perlu dibahas pada Kongres ini adalah masalah neoliberalisme dan neofundamentalisme. Berbagai peristiwa yang berkaitan dengan dua isu tersebut, baik pada tingkat lokal maupun internasional, telah bermunculan dalam rentang waktu antara 1998 hingga sekarang. Secara sporadiks, dua isu besar itu sudah mendapat tanggapan dari berbagai kalangan Islam. Namun demikian, sebagai satuan utuh umat Islam Indonesia, Kongres perlu memperhatikannya, tanpa harus terpaku dengan hasil akhir berupa terumuskannya satu jawaban khusus.

Mencari Akar

Dalam Globalised Islam (2004), Olivier Roy menyebutkan bahwa baik kelompok neoliberalis maupun neofundamentalis sama-sama memiliki jawaban tipikal dan ready-made tentang apa itu Islam, jihad, bom bunuh diri, status wanita, demokrasi dan sejenisnya? ‘Islam adalah agama perdamaian’, ‘toleransi dan demokrasi memiliki akar kuat dalam Islam’, dan ‘Islam menjunjung tinggi hak asasi manusia’ merupakan jargon-jargon yang secara membosankan diulang-ulang kelompok neoliberalis. Sementara kelompok yang berlawanan mengusung tema-tema yang tak kalah menjemukan, seperti ‘syariah sebagai total solution’ dan ‘Islam adalah din wad daulah.’

Dari mana kedua kelompok tersebut mencari referensi terhadap jawaban-jawaban itu? Tidak ada lain kecuali Al-Quran. Kitab suci adalah teks multiinterpretasi. Ia akan berbunyi sesuai dengan siapa yang membacanya; ditangan Nurcholish Madjid, Al-Quran bersuara toleran, ramah, dan inklusif; dalam genggaman Osama bin Laden, Al-Quran menjadi menakutkan dan kejam. Karena itu, ketika seseorang ingin menemukan jawaban tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, maka ia tak akan pernah menemukan jawaban yang seragam. Jika kita bertanya tentang teologi Islam, maka ada teologi Asy’ari, Maturidi, Syiah, dan lain-lain. Hukum Islam pun bervariasi, seperti, Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hambali.

Persoalan liberal atau fundamental memang tidak bersumber dari Al-Quran. Kitab suci lebih sering difungsikan sebagai alat legitimasi terhadap keyakinan-keyakinan yang telah dimiliki orang-orang tertentu. Lantas darimana sumber dari sikap liberal dan fundamental itu? Berbagai penelitian telah dilakukan dan berbagai teori pun lahir. Teori ekonomi, misalnya, menyebut kemiskinan sebagai akar dari tindakan radikal dan violence. Teori politik mengangkat kebijakan Amerika Serikat sebagai sumber persoalan. Memang, semua teori itu memiliki kelemahan. Misalnya, jika kemiskinan yang dianggap sebagai akar fundamentalisme, mengapa banyak generasi muda Muslim Eropa, yang secara ekonomi cukup mapan, justru menjadi aktivis fundamentalisme. Kemelaratan bisa menyebabkan orang mau mencuri atau bunuh diri, namun ia tak mampu membuat orang mau membajak pesawat dan melakukan bom bunuh diri. Secara politik, NU dan Muhammadiyah memberikan respon yang lebih sejuk daripada ormas Islam lain dalam menyikapi kebijakan Amerika.

Teori lain tentang neoliberalisme dan neofundamentalisme dikemukakan oleh Olivier Roy (1994) dan Robert W. Hefner. Roy menyebutkan bahwa neofundamentalisme dan neoliberalisme Islam lebih banyak berkaitan dengan westernisasi (atau globalisasi atau modernisasi) daripada keinginan kembali kepada Al-Quran. Sebelumnya, Hefner dalam Civil Islam (2000) juga menyatakan hal senada, bahwa berbagai gerakan Islam itu muncul sebagai respons terhadap dunia modern.

Dari segi bentuknya, Roy menyatakan, respon terhadap dunia modern itu terpentang dari spektrum yang paling moderat hingga paling radikal. Pada fringe yang paling radikal terhadap pihak luar biasanya melahirkan terorisme. Fringe lain adalah fringe paling sektarian yang biasanya menerapkan konsep hijra dengan membentuk kelompok eksklusif. Senada dengan Roy, Hefner mengklasifikasi bentuk respons itu ke dalam tiga model, yaitu: respons dalam bentuk organik represif (a repressively organic response), separatis sektarianisme (organic totalism for separatist sectarianism), dan sipil Islam (a refigured religion, a civil response).

Kemana Kita Melangkah?

Teori budaya yang dikemukakan Roy dan Hefner di atas terlihat lebih komprehensif dibanding teori lain. Banyak pemikir Islam yang mencoba untuk merespons masalah globalisasi atau westernisasi ini secara akademik. Naquib Alatas, misalnya, memilih untuk melakukan de-Westernisasi ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Ziauddin Sardar mencoba untuk “freeing Muslims from the ‘epistemological imperialism of the West’” (membebaskan umat Islam dari epistemologi imperialisme Barat). Apa yang dilakukan Sardar dan Alatas adalah pemberontakan terhadap universalisme Barat, norma-norma dan nilai-nilai Barat. Mereka menolak tatanan dunia yang didominasi oleh Barat. Mereka tidak menolak globalisasi, tapi menolak universalisme Barat dalam membentuk dunia global ini. Mereka ingin membangun sendiri bentuk dari universalisme itu.

Globalisasi memang tidak bisa ditolak. Hal yang perlu dilakukan adalah dimana kita harus memposisikan diri. Kelompok neofundamentalis Islam di Indonesia, seperti Hizbut Tahrir, membagi globalisasi itu kepada dua bentuk, hadharah (ideologi dan peradaban) dan madaniyah (produk). Mereka cenderung menerima produk dunia global, seperti internet dan telefon, dan menolak ideologi di belakangnya. Golongan neoliberal Islam, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), cenderung menilai bahwa umat Islam tak akan bisa maju dan hanya menjadi konsumen jika tidak mengadopsi globalisasi secara total.

Globalisasi samasekali tidak berkaitan dengan dogma Islam. Ia tak mengubah agama, tapi mengubah sikap keberagamaan. Sebagai sebuah fenomena kultural, respon terhadap globalisasi, demikian juga dalam menyikapi kelompok neoliberalisme dan neofundamentalisme, tidak bisa dilakukan sekadar dengan merumuskan statemen verbal atau pernyataan setuju dan tidak setuju. Dalam konteks ini, KUII hanya berfungsi sebagai forum tempat mendistribusikan wacana dan mencerahkan pemikiran, sehingga lahir kesadaran bersama, bukan lahirnya solusi instan. Paling banter, seperti pertemuan para ilmuwan Islam di dunia yang pernah melahirkan IIIT (International Institute of Islamic Thought) dan ISTAC Malaysia, maka KUII bisa mempelopori lahirnya strategi dan pengembangan peradaban Islam tertentu dengan membentuk institusi.
oo0oo


*Ahmad Najib Burhani
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Aktivis Pemuda Muhammadiyah

No comments:

Post a Comment