Saturday, October 6, 2012

Halusinasi Penentang Syariat Islam

Republika Senin, 29 Nopember 2004

Oleh : Irfan S Awwas

Upaya dekonstruksi syariat Islam dari politik dan lembaga negara, kini telah melibatkan kalangan pemikir dari berbagai disiplin ilmu. Ahmad Najib Burhani, dosen di Universitas Paramadina, melontarkan opini berjudul ''Ratu Adil Bernama Syariat Islam'' (Republika, 19/11/2004).

Dikatakan bahwa: "Tuntutan sebagian Islam radikal terhadap penerapan syariat Islam itu dilandasi oleh keyakinan bahwa syariat Islam akan berfungsi seperti sosok Ratu Adil atau Mesiah. Syariat, misalnya,
dipandang sebagai total solution terhadap segala problema yang dihadapi bangsa Indonesia. Gagasan ini, katanya lagi, hanya lahir dari komunitas masyarakat miskin, tersisihkan, dan putus asa yang menunggu-nunggu hadirnya makhluk yang mampu mengangkat derajat hidup mereka."

Pemikiran normatif sekularisme seperti ini muncul dari seorang dosen Muslim, terasa agak aneh. Cara berpikir demikian, pernah berkembang pesat di zaman Lenin dalam wujud pemikiran anti Tuhan dan anti agama (ateis). Leninisme berkeyakinan, tanpa agama kehidupan menjadi lebih cerah. Kebencian pada agama, akhirnya melahirkan halusinasi (membayangkan segala hal buruk) terhadap segala yang berkaitan
dengan syariat Allah.

Halusinasi para penentang syariat Islam, bertolak dari pemikiran tentang perlunya memberikan jawaban atas berbagai problema masyarakat modern yang menyangkut kehidupan publik. Terhadap syariat Islam, sayangnya, keinginan itu kemudian dirumuskan dalam bingkai apriori, bahwa ajaran Islam sama sekali tidak menyentuh realitas sosial masyarakat yang sudah berkembang sedemikian pesat. Ajaran Islam dirasakan tidak akan mampu mengantisipasi perkembangan zaman karena sifatnya yang statis dan final dengan selesai turunnya wahyu.

Benarkah mereka yang memandang syariat Islam sebagai total solution merupakan orang-orang yang putus asa, termarginalkan, dan melarat?

Meyakini syariat Islam sebagai total solution adalah bagian dari keimanan Islam. Sebab, segala kebaikan yang diajarkan Islam sesuai dengan fitrah manusia. Siapapun yang menerapkan prinsip-prinsip kehidupan Islam, seperti komitmen terhadap janji, jujur, kerja keras, disiplin dan tepat waktu, adil dalam menjalankan kekuasaan, kesediaan menerima kontrol masyarakat dalam menjalankan kepemimpinan negara, dan ramah terhadap orang lain. Dia pasti akan mendapatkan manfaat, baik dia Muslim atau non Islam, di negara Islam maupun sekuler.

Namun demikian, membandingkan antara Muslim yang meyakini syariat Islam sebagai total solution, atau dalam ungkapan Roger Graudy, hillun wahidun lil mustaqbalil alam (solusi tunggal bagi problem dunia kontemporer); dengan Amerika Serikat yang memandang demokrasi sebagai obat mujarab atau Mesiah modern bagi seluruh problem manusia, sebagaimana dikatakan Najib Burhani, jelas tidak relevan.

AS kini memperalat demokrasi sebagai alasan pembenaran untuk menjajah bangsa Irak, membunuh ribuan Muslim, memperkosa wanita, dan menghancurkan sejumlah masjid bersejarah. Menyejajarkan demokrasi,
sekularisme, dan isme-isme turunannya dengan syariat Islam adalah kriminalitas berpikir, merendahkan martabat Allah, dan menghina Rasulullah SAW.

Demokrasi ataupun sekularisme, bukan saja ideologi yang bersifat man- made, tidak punya nabi dan kitab suci. Tetapi juga, seperti dikatakan Moh Natsir di hadapan sidang pleno Konstituante, 12 November 1957, adalah ideologi la-diniyyah, tanpa agama. Tidak memiliki tujuan hidup, dan kosong dari orientasi ukhrawi. Setinggi-tinggi tujuan hidup manusia yang bisa diberikan demokrasi, paling- paling penghargaan pada mayoritas dan membiarkan tiap golongan masyarakat memanifestasikan diri secara bebas dan merdeka. Sedangkan sekularisme, selain tidak dapat memberikan dasar dan arah bagi kehidupan individu maupun masyarakat, kata beliau, konsepsinya tidak akan melebihi apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Karena itu, berpedoman pada demokrasi atau sekularisme, ibarat menelan makanan yang tercemar, tidak pernah bisa memberikan makanan yang bergizi, bahkan sebaliknya meracuni pikiran dan hati.

Adapun agama Islam, memiliki sumber dan dasar berpijak yang jelas, yaitu Tauhidullah. Tujuannya, mengarahkan manusia supaya selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Untuk itu manusia diberi manhajul hayah (pedoman hidup) bernama syariat Islam. Tidak ada satu sudut pun dari areal kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam. Komitmen Natsir dalam memperjuangkan formalisasi syariat Islam di lembaga negara, terbukti tidak membuatnya terhina, apalagi putus asa. Ia berpulang ke rahmatullah dengan terhormat. Justru, mereka yang menolak syariat Islam adalah orang-orang yang tidak mampu membebaskan diri dari hegemoni Barat. Orang-orang yang mengidap inferiority complex, yang malu melihat wajahnya sendiri, yang biasa mengidentifikasikan dirinya dengan kemauan asing, sehingga takut berkata: "Isyhadu bianna muslimun."

Akibat menolak syariat
"Di antara manusia ada yang mempergunakan kata-kata hampa tanpa ilmu untuk menyesatkan orang dari jalan Allah dan menjadikan jalan Allah itu senda gurau. Mereka akan menderita azab yang menghinakan." (Qs. Lukman, 31: 6).Manusia yang berperilaku, sebagaimana tersebut di dalam ayat di atas, kini jumlahnya semakin banyak. Secara formal, mereka ada yang beragama Islam, namun dalam praktiknya, mereka justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Mereka menggunakan label demokrasi, hak asasi, liberalis, pluralis, inklusifis, kesetaraan gender, dan sebagainya. Dari komunitas inilah munculnya "fikih lintas agama" yang menyatakan shalat tidak wajib, wanita bukan saja boleh menjadi presiden, bahkan sebagai khatib atau imam shalat di hadapan makmum laki-laki juga sah. Padahal, yang mereka serukan adalah kebatilan, membuat aturan agama tanpa syariat, dan mengakui adanya Tuhan tanpa agama.

Ada pula yang berambisi merevisi sejumlah ayat al-Quran yang dianggapnya diskriminatif terhadap kaum perempuan. Melalui "Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI)" tim pengarus-utamaan gender
bentukan Departemen Agama mengusulkan supaya peraktik poligami dilarang, karena eksesnya buruk. Wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, membolehkan perkawinan kontrak dengan batas waktu tertentu
alias mut'ah. Untungnya, draf ini dibatalkan oleh Menag, Maftuh Basuni. Jika tidak, usulan itu bisa memotivasi masyarakat untuk mengingkari nilai-nilai syariat, dan menjadi alasan legalisasi prostitusi di Indonesia.

Mengapa untuk syariat Islam mereka cenderung berpikir negatif dan tidak demokratis? Ketika sekularisme merasa hebat, dan para penguasa menyingkirkan peran agama dari kekuasaannya, yang terjadi adalah bencana. Musollini dengan fasismenya di Italia, Stalin dan Vladimir Ilyic Ulyanov Lenin dengan komunisme-bolsheviknya di Rusia, Adolf Hitler dengan Nazismenya di Jerman, Sukarno dengan Nasakom, Soeharto
dengan asas tunggal Pancasila, Abdurrahman Wahid dengan dekonstruksi syariatnya. Semuanya berakhir tragis. Kekuasaan dan paham yang mereka tinggalkan tidak mewariskan apa pun, selain kerusakan. Rakyat
kian miskin akibat keserakahan sebagian orang, moral menjadi rusak karena mengabaikan agama, semakin banyak anak jalanan yang telantar, hubungan sosial hancur, negara berjibun hutang, pelacuran dan
perjudian merajalela. Sedangkan korupsi, bagai gurita raksasa memangsa harta negara, akibat tidak adanya rasa tanggung jawab pada Tuhan. Mereka gagal menciptakan kondisi sosial yang adil dan sejahtera.

Di kalangan pemikir Islam yang menentang syariat Islam, akhir hidupnya amat memilukan. Nasib mereka haruslah menjadi pelajaran bagi generasi Islam bahwa, "orang-orang yang menghina syariat Islam,
pasti akan dihinakan oleh Allah."

Aktivis Majelis Mujahidin Indonesia

No comments:

Post a Comment