Sunday, October 14, 2012

Islam Tanpa Syariat versi Pemuda Muhammadiyah

Hidayatullah.com, Tuesday, 07 June 2005 00:50  
 
Muhammadiyah kini dipenuhi tokoh-tokoh beraliran "konteksiyah". Aliran ini berpendapat Al-Qur'an harus diseuaikan dengan zaman.  Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) ke-102 Adian Husaini, MA
Sejak berdirinya tahun  1912, pendiri dan tokoh-tokoh Muhammadiyah mungkin tidak ada yang berpikir, bahwa suatu ketika, akan muncul dari  tubuh organisasi ini berbagai pemikiran yang meruntuhkan bangunan Islam. Tetapi, kenyataannya, saat ini tidaklah demikian. Begitu banyak ide-ide yang diluncurkan lembaga dan sebagian tokoh Muhammadiyah yang “aneh-aneh” dan tidak
masuk akal sehatnya kaum Muslim. Tidak jarang ide itu mengatasnamakan lembaga resmi Muhammadiyah maupun mencatut nama pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, seolah-olah pendiri Muhammadiyah ini adalah tokoh pluralisme.

Hari Jumat (3 Juni 2005), seorang tokoh Muhammadiyah yang juga Ketua Dewan Direktur Center for Moderate Muslim (CMM), dr. Tarmizi Taher, menulis artikel di Harian Republika dengan judul “Memetik Nilai-nilai Pluralisme dari KH Ahmad Dahlan”. Penulis artikel ini tidak bisa membedakan antara “toleransi” dengan “pluralisme”, yang merupakan paham (isme) tertentu dalam melihat pluralitas agama. Paham ini diakui oleh kalangan agamawan merupakan paham yang destruktif terhadap semua agama, sehingga Vatikan secara resmi menolaknya pada tahun 2000. Tetapi, aneh dan ajaib, dari tubuh Muhammadiyah bisa muncul  dukungan terhadap paham pluralisme.
Kekeliruan Tarmizi tampak semakin jelas, ketika ia mengajak umat Islam untuk membuat tafsir al-Quran dalam bingkai pluralisme. Misalnya, QS 9:29, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah”, menurut dia, akan berdampak buruk jika dipahami secara tekstual. Ayat ini, katanya, tidak berlaku universal, melainkan terikat dengan ruang dan waktu. Kondisi masyarakat Arab dimana ayat itu diturunkan, berada dalam suasana yang terpolarisasi dalam (1) kutub kaum beriman dan (2) kutub kaum tidak beriman.
Jika Tarmizi membaca kitab-kitab tafsir dan fiqih, maka akan didapati begitu banyak pembahasan tentang masalah ini, dan tidak perlu dikaitkan dengan paham pluralisme agama. Islam adalah agama yang sejak awal sadar akan perbedaan dan mengakui perbedaan. Meskipun demikian, ayat-ayat al-Quran penuh dengan penjelasan tentang kekeliruan agama kaum Yahudi dan Kristen. Ada kalanya redaksi al-Quran bernada keras adakalanya bernada lembut. Untuk orang-orang kafir seperti Abu Lahab, al-Quran menggunakan redaksi “Celakalah kedua tangan Abu Lahab.” Nabi Muhammad saw begitu banyak mengajarkan, kapan bersikap lembut dan kapan bersikap tegas terhadap kaum kafir. Terhadap kaum kafir Zimmi, Rasulullah saw berwasiat agar mereka diperlakukan dengan baik. Tetapi, terhadap kaum Yahudi yang berkhianat terhadap perjanjian Madinah, Rasulullah bersikap tegas, memerangi dan mengusir mereka.
Sayyidina Abubakar r.a. dikenal sebagai seorang yang sangat lembut hatinya. Tetapi, terhadap kaum pembangkang zakat, Sayyidina Abu Bakar tidak memberi ampun.
Adalah sangat disesalkan, jika tokoh seperti Tarmizi Taher membawa-bawa nama KH Ahmad Dahlan, dalam menyebarkan paham pluralisme, tanpa bisa membedakan yang mana kerukunan, dan mana pluralisme.
Akan tetapi, lebih dari gagasan pluralismenya Tarmizi Taher, ada yang ajaib lagi muncul dari organisasi Muhammadiyah, yang akan bermuktamar ke-45 bulan Juli 2005 nanti. Tahun ini,  Pemuda Muhammadiyah bekerjasama dengan PW NU Jawa Timur, Muslim Institute, British Council, dan PT Grafindo Khazanah Ilmu, menerbitkan sebuah buku berjudul “Islam Tanpa SyariatMenggali Universalitas Tradisi”. Buku ini merupakan rangkuman hasil ceramah cendekiawan Inggris bernama Ziauddin Sardar di berbagai tampat di Indonesia, yang kedatangannya disponsori oleh British Council.
Secara umum, gagasan Sardar yang dirangkum dalam buku ini, tidak jauh berbeda dengan gagasan para tokoh liberal, seperti Fazlur Rahman, Abdullah Ahmed Naim, Mohammed Arkoen, dan sebagainya. Tetapi, judul buku ini sendiri mengangkat tema “dekonstruksi  syariah” secara lebih ekstrim, sehingga memberi gambaran, bahwa Islam yang ideal adalah ‘Islam tanpa syariat’.
 

Sayangnya, buku ini tidak memberi definisi yang jelas, apakah yang dimaksud dengan syariat. Namun, pada bagian lain Sardar menyebutkan, bahwa syariat adalah sama dengan hukum Islam. Kata ini secara umum dipahami oleh kaum Muslim sebagai “hukum-hukum Islam”. Karena itu, Islam tanpa syariat, akan dipahami secara umum sebagai Islam tanpa ‘hukum-hukum Islam’.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah dulu yang memperjuangkan diterapkannya Piagam Jakarta juga memperjuangkan tegaknya syariat  Islam di Indonesia, karena Piagam ini menyebutkan tujuh kata yang terkenal “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Menurut Sardar, kaum Muslim gagal melakukan ijtihad, karena tiga  “malapetaka metafisis”. Pertama, pengkultusan syariat sebagai sebagai sesuatu yang suci. Kedua, lenyapnya semangat ijtihad di kalangan muslim. Ketiga, penyamaan Islam dengan negara. 
Kaum Muslim, kata Sardar, seharusnya menyadari bahwa hukum dan jurisprudensi yang selama ini  menjadi rujukan utama, dibangun dalam konteks sosial masa lalu yang tidak selalu sesuai dengan kehidupan masyarakat kontemporer.
Kaum muslim perlu melakukan rekonstruksi hukum dan etika dari sumber aslinya yaitu dari konsep-konsep dan nilai-nilai asasi yang melekat di dalam al-Quran  sebagai spirit pembaharuan Islam.
Masih kata Sardar, salah satu sebab utama kegagalan dalam menjawab panggilan ijtihad adalah konteks dari Kitab Suci kita yang tidak sesuai dengan kehidupan sekarang.
Konteks sosial al-Quran dan as-Sunnah Nabi Muhammad membeku dalam sejarah. Yang bisa kita lakukan hanyalah menafsirkan teks.
Bahkan, katanya, kita pun tidak berani melakukan interpretasi karena interpretasi sebelumnya dianggap abadi. Interpretasi terhadap teks akan memiliki makna apabila konteksnya sesuai dengan konteks kekinian. Interpretasi teks yang tidak sezaman tidak memiliki arti dan siginifikansi apa pun. Secara konstan, penafsiran lama akan menyeret kita kembali ke masa silam, konteks yang sekian lama membeku dan lapuk dalam sejarah.
Selanjutnya dia katakan, bahwa mayoritas Muslim menempatkan syariat – hukum Islam – pada posisi suci. Padahal, tidak ada satupun aspek syariat yang sakral. Hanya al-Quran yang suci. Selainnya, termasuk syariat, jauh dari suci.
Syariat adalah produk hukum ciptaan manusia; usaha yang dilakukan manusia untuk memahami kehendak suci dari Tuhan dalam konteks sosial tertentu. Bagian terbesar syariat adalah fiqh, jurisprudensi Islam, yang tiada lain berisi pendapat hukum dari para fuqaha masa klasik.
Untuk lebih meyakinkan akan “ketidakberhargaan” fiqh, Sardar menyatakan, bahwa kompilasi fiqh sebagai produk hukum yang sistematis tidak dapat dilepaskan dari konteks politik Dinasti Abbasiyah, dimana sejarah Islam pada fase ekspansi. Yang harus diingat, formulasi Fiqh berkaitan erat dengan logika imperialisme pada masa itu. Demikianlah cuplikan pendapat Sardar tentang syariat dan fiqh.
Kita bisa menilai, betapa bias dan dangkalnya analisis Sardar, yang selama ini dikenal sebagai
cendekiawan dan futurolog yang kritis terhadap Barat. Tuduhan-tuduhan yang berkaitan dengan para ahli fiqh Islam terlalu berlebihan.

Kesimpulan-kesimpulan Sardar gegabah dan serampangan serta berlebihan. Hanya dengan mengambil contoh satu dua kasus hukum – seperti hukum murtad – dia lalu berkesimpulan bahwa syariat atau fiqh Islam dirumuskan terkait dengan aspek kepentingan politik.
Benarkah syariat Islam tidak suci, dan hanya merupakan produk hukum ciptaan manusia, seperti
tuduhan Sardar? Jelas pendapat ini sangat keliru. Jika kita mengakui kesucian al-Quran, maka hukum-hukum yang dicantumkan dalam al-Quran atau yang diajarkan oleh Rasulullah adalah suci juga, dan bukan karangan para ulama.

Hukum bahwa shalat adalah wajib, khamar adalah haram, zakat adalah wajib, babi haram, dan sebagainya, ialah hukum Allah, bukan karangan manusia. Para fuqaha di masa Nabi Muhammad saw, sampai abad ini, akan tetap berpendapat seperti itu. Tuduhan-tuduhan semacam ini adalah tuduhan yang keji; seolah-olah para ulama adalah para perekayasa pembuatan hukum Islam. 
Sardar banyak menyebut masalah konteks dalam aspek hukum. Namun, dia tidak memberikan definisi yang jelas, apa yang dimaksud dengan konteks. Biasanya ungkapan semacam ini dimaksudkan, agar orang Islam harus meninggalkan teks suci al-Quran, karena zaman
dan tempat sudah berubah. Hukum tergantung pada konteks, bukan pada teks.

Jilbab, kata mereka, misalnya, bukan pakaian yang menutup tubuh wanita kecuali muka dan telapak tangan, tetapi jilbab adalah “kepantasan umum”. Jika di pantai, yang pantas adalah mengenakan bikini, bukan kerudung. Di daerah pedalaman tertentu, “jilbab” adalah “koteka”. Di kolam renang,
“jilbab” adalah pakaian renang ala bikini. Dan sebagainya.

Pemikiran semacam ini – seperti seringkali kita bahas – adalah absurd dan fragmentatif. Para pemuja aliran “kontekstiyah” ini sebenarnya juga para pemuja “teks”. Hanya saja, teks mereka bukan lagi al-Quran dan Sunnah atau kitab-kitab khazanah fiqih Islam, tetapi teks suci bagi mereka adalah semacam “Universal Declaration of Human Right”, “KUHP”, “Declaration of
Independen
-nya Amerika”, dan sebagainya. Mereka menolak teks ang satu menuju kepada teks yang lain.

Silakan dicermati, mereka akan selalu menyatakan, bahwa zaman kita sudah berubah, sekarang kita harus menganut demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, yang masing-masing juga mempunyai teks-teks yang mereka sucikan. Jika para penganut aliran kontekstiyah ini menuduh kaum Muslim dijajah “teks” al-Quran dan Sunnah, maka sebenarnya – tanpa sadar –  mereka sebenarnya juga merupakan para pemuja teks bikinan manusia yang tidak suci dari godaan setan yang terkutuk. Penganut aliran ‘kontekstiyah’ juga rajin menghujat para imam mazhab dan para ulama Islam,  seolah-olah para imam itulah yang membuat Islam mundur selama ratusan tahun. Na’uzhubillah.
Hukum Islam adalah salah satu aspek penting dalam peradaban Islam. Di bidang ini, kaum Muslim telah membuktikan keunggulannya, sehingga selama ratusan tahun hukum Islam diterapkan dan hidup dalam tradisi ilmiah Islam. Bahkan, sampai saat ini pun, hukum Islam tetap hidup, meskipun secara terbatas. Cakupan hukum Islam jauh lebih luas daripada hukum yang dipahami di Barat. Hukum Islam mencakup aspek ibadah, sosial, politik, dan sebagainya. Hukum Islam mengatur hubungan individu dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, dengan manusia, bahkan dengan alam semesta. 
Karakterisik hukum Islam seperti ini sangat khas Islam dan jauh berbeda dengan hukum dalam pengertian di Barat. Dalam konsep hukum Islam, bunuh diri bukan hak, tetapi sebuah dosa. Seorang dilarang meminum khamr, meskipun hanya seteguk dan dilakukan di dalam kamar, tanpa merugikan orang lain. Zina tetap haram, meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka.
Jika Pemuda Muhammadiyah berani mempromosikan gagasan “Islam tanpa Syariat”, maka seharusnya mereka konsisten dengan gagasannya itu. Mereka harusnya meninggalkan syariat Islam secara total. Mereka tidak perlu menikah secara Islam, tidak perlu haji ke Mekkah, dan tidak perlu dimakamkan secara Islam.
Mereka harusnya membuat wasiat buat keluarga dan umat Islam, jika mereka meninggal dunia nanti, tidak perlu jenazah mereka diurus sesuai dengan  syariat Islam. Jenazah mereka tidak perlu disalatkan, dikafani, atau dimakamkan secara syariat Islam. Cukup,  mayat mereka  nanti dibuang  ke laut,  dibakar, atau dijadikan umpan binatang buas di tengah hutan belantara. Kebetulan,
tanah Jawa ini sudah semakin sempit buat kuburan. Gagasan “Islam tanpa syariat” memang sangat cocok dengan program efisiensi  tanah pekuburan yang sedang digalakkan di Jakarta, khususnya. Wallahu a’lam. (Jakarta, 3 Juni 2005/Hidayatullah.com).


Retrieved from: http://old.hidayatullah.com/kolom/adian-husaini/1946-islam-tanpa-syariat-versi-pemuda-muhammadiyah

No comments:

Post a Comment