Sunday, February 21, 2010

Ratu Adil Bernama Syariat Islam

Republika, Jumat, 19 Nopember 2004

Oleh : Ahmad Najib Burhani

Ide tentang Ratu Adil umumnya muncul ketika suatu kelompok masyarakat berada dalam kondisi ekonomi dan politik yang menyedihkah dan secara psikologis tak punya lagi harapan untuk bangkit bila hanya dengan menyandarkan pada kekuatan yang ada pada diri mereka sendiri. Menurut Fiona Bowie (The Coming Deliverer, 1997), ide ini merupakan bagian dari ajaran orthodox semua agama. Aktif dan tidaknya ajaran ini sangat bergantung pada tingkat kesengsaraan yang dialami oleh suatu umat.

Ratu Adil biasanya dipersonifikasikan dalam wujud sesosok individu penuh kharisma, dengan kekuatan supranatural dan aura kenabian atau ketuhanan yang mampu menolong umat keluar dari krisis dan penderitaan. Dalam teologi Syiah, dan juga sebagian umat Islam lain, gagasan tentang kedatangan Al-Mahdi al-Muntadzar (yang ditunggu-tunggu) seringkali tumbuh ketika mereka berada dalam situasi dan kondisi yang sangat tak berdaya. Sebelum Revolusi Iran 1979, harapan akan kehadiran Al-Mahdi pada masyarakat Syiah Iran begitu luas tersebar. Al-Mahdi ini diyakini akan berperan sebagai sosok pembebas umat Islam dari kondisi keterpurukan dan keteraniayaan. Dalam agama Kristen, konsep tentang kehadiran Kristus (Messiah) untuk yang keduakalinya juga memiliki penjabaran yang mirip. Gagasan ini berkembang pada masyarakat miskin, tersisihkan, dan putus asa yang menunggu-nunggu hadirnya makhluk yang mampu mengangkat derajat hidup mereka.

Pada awal abad ke-20, bagi sebagian masyarakat Indonesia, HOS Tjokroaminoto sering dianggap sebagai sosok Ratu Adil. Nama Tjokroaminoto dihubung-hubungkan dengan tokoh yang dinanti-nantikan kehadiranya di tengah rakyat Indonesia yang sengsara, Prabu Heru Tjokro. Menurut pengamatan sejarawan Bernhard Dahm, melejitnya Sarikat Islam (SI) di era Perang Dunia I di antaranya adalah karena demam mesianis ini. Seabad sebelumnya, Pangeran Diponegoro menggunakan gelar Sultan Herutjokro atau Ratu Adil ketika ia memobilisasi para petani dan memimpin Perang Jawa 1825-1830. Presiden pertama Indonesia, Sukarno, oleh para pengikut militannya ketika itu juga sering diangap sebagai pengejawantahan Ratu Adil.

Pergeseran makna
Bila dahulu Ratu Adil atau The Saviour atau The Just King itu selalu identik dengan person atau tokoh, maka wacana yang berkembang pada Islam radikal di Indonesia belakangan ini menunjukkan adanya pergeseran pemaknaan konsep Ratu Adil atau Al-Mahdi. Bila pada tahun-tahun dahulu, umat Islam, terutama di Jawa, selalu mengharap kehadiran Ratu Adil bila mereka tertimpa krisis besar, maka pada krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia pada tahun-tahun terakhir dari abad ke-20 yang bekasnya masih terasa hingga saat ini, harapan terhadap munculnya Ratu Adil dalam arti sosok individu mengalami ketergusuran, kalau tidak kepunahan. Harapan yang sering dikemukakan oleh Islam radikal untuk mengatasi krisis di Indonesia adalah sebuah konsep yang bernama syariat Islam.

Berbagai penelitian yang dilakukan baik oleh individu maupun lembaga, seperti penelitian Islam and Peace Building oleh ICIP-JICA (2004), menunjukkan bahwa tuntutan sebagian Islam radikal terhadap penerapan syariat Islam itu dilandasi oleh keyakinan bahwa syariat Islam akan berfungsi seperti sosok Ratu Adil. Jargon-jargon yang ditampilkan dalam melihat peran syariat memperlihatkan bagaimana syariat betul-betul menempati posisi sebagai Messiah. Syariat, misalnya, dipandang sebagai total solution atau obat mujarab terhadap segala problem yang dihadapi oleh bangsa ini. Krisis ekonomi, politik, moral, sosial, dan sebagainya adalah disebabkan karena bangsa ini menerapkan sistem sekular, sistem buatan manusia yang penuh kekurangan. Karena itu, sistem buatan manusia itu harus diganti dengan sistem milik Tuhan yang bernama syariat yang diyakini bersifat sempurna.

Tuntutan penerapan syariat Islam di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini adalah sejalan dengan pemikiran bahwa syariat sebagai total solution bagi bangsa Indonesia. Tuntutan yang terjadi di Sulawesi, Sumatra Barat, Madura, Banten, Flores, Sumba, dan Cianjur memang memiliki latar belakang yang beragam, seperti kepentingan politik atau ekonomi. Namun secara umum, di antara pandangan yang sering dikemukakan tentang alasan dari tuntutan ini adalah bahwa syariat Islam akan mampu membawa rakyat di daerah itu menuju kepada keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan. Gagasan tentang syariat Islam sebagai perwujudan Ratu Adil ini sebetulnya tidak terlalu jauh bila dibandingkan dengan gagasan tentang demokrasi bagi Amerika Serikat. Sebagaimana kelompok Islam radikal memandang syariat Islam, AS memandang demokrasi sebagai obat mujarab atau Messiah modern bagi seluruh problem manusia.

Demokrasi versus syariat
Demokrasi, menurut Olivier Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam (1994), adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang diakui dalam skema dunia modern. Demokrasi adalah obat mujarab untuk segala problem kemanusiaan. Demokrasi adalah The Saviour bagi Amerika Serikat, dan karena itu mereka merasa berkewajiban memaksakan sistem ini ke seluruh dunia, seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan. Selain demokrasi, tidak ada sistem pemerintahan yang saat ini diakui mampu menawarkan kemajuan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Kekuasaan dari sistem ini begitu hegemoniknya sehingga dunia saat ini seakan tertutup terhadap adanya kemungkinan sistem lain.

Seperti umumnya sistem yang hegemonik, ia tentu secara otomatis melahirkan lawan-lawan yang selalu menantang eksistensinya. Bila sebelum tahun 1990-an sistem sosialisme selalu menjadi contender atau tawaran alternatif, maka dalam konteks kekinian sistem syariat sering dianggap oleh berbagai kelompok Islamis sebagai alternatif terhadap demokrasi. Tentu saja, seperti dikemukakan oleh Roy, bila melihat syariat dengan kacamata demokrasi, maka yang akan tampak adalah absence dan lack. Sistem syariat berbeda dari sosialisme yang ketika dihadapkan pada demokrasi memiliki poin-poin perbandingan. Syariat tidak bisa disandingkan dengan demokrasi sebagai sebuah perbandingan. Justru karena kesulitan untuk menyejajarkan itulah maka, barangkali, beberapa aktivis gerakan syariat lantas menawarkannya sebagai challenger dari demokrasi.

Akhirnya, seperti yang dkemukakan oleh Fiona Bowie, sebagai ajaran orthodox dari semua agama (bahkan mungkin semua peradaban), gagasan tentang Ratu Adil itu tidak pernah punah. Dia bisa berbentuk sosok dan juga bisa berupa konsep. Demokrasi, syariat Islam, Marxisme, atau isme-isme lain bisa menjadi Ratu Adil bagi masyarakat yang sedang mengalami keterpinggiran dan tak berdaya. Gagasan Ratu Adil ini akan meredup bila masyarakat hidup pada kondisi yang aman, adil, dan sejahtera. Karena itu, salah satu solusi yang mesti diambil oleh pemerintahan baru di bawah kepemimpinan SB Yudhoyono-Jusuf Kalla untuk mengatasi "hantu" Ratu Adil adalah menciptakan kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Dosen di Universitas Paramadina dan Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka)

No comments:

Post a Comment