Sunday, February 21, 2010

Piagam Jakarta, PKS, dan Demokratisasi Referensi

Kompas, Selasa, 14 Desember 2004

Oleh Untung Wahono

SESAAT setelah Hidayat Nur Wahid terpilih sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, seorang anggota MPR mengajukan interupsi.

Isi interupsi, meminta ketegasan Ketua MPR untuk tidak mengamandemen UUD 1945, khususnya memasukkan Piagam Jakarta ke dalam konstitusi yang telah mengalami empat tahap amandemen.

Agaknya, tema semacam itu bukan hanya menjadi isu politik di MPR, tetapi juga melebar ke media massa seperti opini yang disajikan Ahmad Najib Burhani (Kompas, 30/11/2004).

Bertolak dari hak kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat, sebenarnya tak ada yang perlu dimasalahkan dari tulisan Burhani karena pikiran seperti itu (Partai Keadilan Sejahtera/PKS melakukan politik pintu belakang) kerap dilontarkan. Tetapi yang patut disayangkan adalah kekeliruan fatal Burhani dalam mengemukakan data historis yang menyangkut sikap dan tindakan politik PKS terkait usulan dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945. Tulisan ini dibuat dalam rangka mengklarifikasi kekeliruan itu dan mengomentari pendapat Burhani agar memperkaya wawasan dalam memandang masalah yang bagi sebagian bangsa Indonesia dianggap sensitif ini.

PKS dan Piagam Jakarta
Pada alinea kedua tulisannya, Burhani menyatakan, "Inti dari perjuangan mengangkat kembali isu Piagam Jakarta yang didengungkan beberapa partai Islam, dengan PKS sebagai salah satu pelopornya,…." Sedangkan pada alinea ketiga Burhani menulis, "Lagi-lagi perjuangan yang di antaranya dimotori Partai Keadilan (sebelum ganti nama menjadi PKS) ini berakhir dengan kegagalan."

Tampak Burhani dalam menyajikan pikirannya tidak didukung data akurat. Bahkan bagi yang masih segar ingatannya dalam mengikuti berbagai peristiwa yang terjadi sekitar proses amandemen UUD 1945, posisi PKS amat jelas. Sejak pembahasan Pasal 29 Ayat (1) dilakukan, berkembang tiga alternatif amandemen.

Pertama, mereka yang menginginkan pasal itu tetap dan tidak berubah. Kedua, ada yang mengusulkan perubahan sehingga menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Ketiga, ada yang mengusulkan perubahan sehingga menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran agama bagi para pemeluknya.

Pengusul kedua, yang rumusannya dikenal sebagai Piagam Jakarta, adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Jadi tidak benar jika PKS didudukkan sebagai motor atau pelopor Piagam Jakarta dalam momentum amandemen UUD pasca-Soeharto. Sebagai sebuah fakta sejarah, hal ini harus diungkap karena sikap politik PKS yang ditampilkan saat itu adalah hasil sebuah musyawarah panjang dan dalam dari lembaga-lembaga tinggi partai. Partai Keadilan/PK (saat itu belum menjadi PKS) sejak pembahasan pasal itu sudah pada posisi pilihan ketiga bersama dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang saat itu tergabung dalam Fraksi Reformasi.

Saat itu PKS telah menyatakan dasar sikap politiknya. Pertama, menjunjung nilai-nilai agama sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Kedua, memberi penekanan pada keadilan posisi agama-agama di Indonesia. Dalam penjelasan (bayanat) partai yang diedarkan saat itu, PKS mengilustrasikan betapa pada masa hidup Rasulullah SAW di Madinah hukum-hukum Taurat dan Injil juga diberlakukan kepada para ahli kitab (lihat sebab turun Surat Al Maaidah Ayat 40-45). Dengan rumusan "kewajiban menjalankan ajaran agama bagi para pemeluknya"-lalu rumusan ini dikaitkan dengan Piagam Madinah-PKS memandang kehidupan spiritualitas keagamaan akan dihargai di Indonesia.

Dengan demikian, amat keliru pernyataan Burhani dalam tulisan itu, "Barangkali dengan menyadari berulang-ulangnya kegagalan dalam memperjuangkan Piagam Jakarta itulah membuat PKS lantas memutar haluan, tidak lagi mengangkat tema yang sama, tetapi menggantinya dengan tema lain yang kemungkinan lebih bisa diterima kalangan luas, yaitu Piagam Madinah."

Kenyataannya, PKS tidak pernah mengusung Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945 pada sidang-sidang tahunan MPR saat itu. Apalagi jika disimpulkan PKS "berulang-ulang mengalami kegagalan dalam memperjuangkan Piagam Jakarta" karena PK atau PKS adalah partai yang baru muncul tahun 1998, tidak pernah mengklaim merupakan pewaris partai-partai yang pernah ada di Indonesia sebelumnya.

Demokratisasi referensi
Dalam sejarah pertumbuhan negara-negara di dunia, pencarian dan pemilihan referensi politik amat wajar terjadi, bahkan pada negara-negara besar sekalipun. Sejak zaman Romawi Kuno, berbagai model negara telah dikenal dan dikembangkan dengan berbagai dasar pemikiran (di antaranya yang terkenal adalah Republik karya Plato). Suatu hal yang perlu dicatat, pada kenyataannya tidak diperlukan finalitas konsepsi bagi sebuah pemikiran atau ajaran untuk dijadikan sebuah referensi politik oleh seseorang atau sebuah gerakan politik.

Sosialisme, kapitalisme, dan komunisme bukan sebuah konsep anorganik sepanjang sejarahnya, namun tetap menjadi referensi politik penting bagi banyak pemikir dan pembangun negara. Karena itu, wajar pula PKS menjadikan Piagam Madinah sebagai referensi politik meski berbagai perkembangan penafsiran telah muncul dari dokumen yang disepakati kaum Muslimin dan non- Muslimin saat Nabi Muhammad SAW hidup di Madinah.

Dalam konteks Indonesia, hal terpenting yang harus dihayati adalah penggunaan referensi politik bukan saja merupakan kewajaran proses, tetapi juga merupakan hak politik yang dihormati dan dijamin konstitusi. Demokratisasi referensi adalah produk proses reformasi Indonesia tahun 1998 yang ditandai dengan dihapusnya pakem asas tunggal Pancasila dan diberlakukannya undang-undang politik yang baru tahun 1999. Tradisi lama dalam politik yang diwarnai "penyeragaman total" dan sikap-sikap apriori terhadap perbedaan pemikiran dan cara memperjuangkan kepentingan telah ditinggalkan.

Karena itu, upaya mengaitkan sikap politik PKS dengan "politik pintu belakang" yang dilakukan Burhani dalam tulisannya tidak memiliki landasan kuat, baik dari sisi historis, politis, maupun etis. PKS telah tampil dalam panggung demokrasi Indonesia dengan kesiapan untuk berinteraksi dengan semua pihak dalam berbagai bentuk. Bahkan partai ini dinilai banyak pengamat-di antaranya Martin van Bruinessen dan William Lidle-telah menunjukkan kecenderungan kuat untuk bermain secara sehat dalam prosedur demokrasi yang ada, baik secara internal maupun eksternal partai.

Politik kecurigaan yang tercermin pada tuduhan "politik pintu belakang" tidak menyehatkan kehidupan demokrasi Indonesia. Saling tuduh akan terjadi karena pada dasarnya kapitalisme, sosialisme, komunisme, sekularisme, dan isme-isme lain dengan segala varian pemikirannya mempunyai penggemar, pemuja, dan penentangnya. Selamat datang di alam demokrasi.

Untung Wahono Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR

No comments:

Post a Comment