Ahmad Najib Burhani*
Selain
dikenal sebagai bulan untuk berpuasa, Ramadhan juga menjadi bulan untuk
berzakat. Dari laporan keuangan yang dikeluarkan Dompet Dhuafa (DD), misalnya,
tercatat lebih dari 50 persen total dana yang mereka kumpulkan dalam satu tahun
itu terjadi pada bulan Ramadhan. Jika dalam setahun DD berhasil mengumpulkan
zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf (Ziswah) senilai 22 milyar rupiah, maka lebih
dari 11 milyar rupiah transaksi Ziswah itu terjadi di bulan ini. Angka ini
belum termasuk jumlah dana yang diterima oleh LAZ (Lembaga Amil Zakat), BAZ
(Badan Amil Zakat), dan organisasi pengelola zakat lainnya. Inilah,
diantaranya, yang menyebabkan maraknya iklan zakat di berbagai media massa saat
ini.
Potensi
Ziswah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia memang cukup besar. Menurut Zaim
Saidi, potensi itu bisa mencapai Rp. 7,5 triliun pertahun. Dilihat dari rate
of giving (kebiasaan memberi), prosentase yang dimiliki oleh masyarakat
Indonesia adalah terbesar di Asia, bahkan lebih besar dari Amerika, Jepang,
Jerman, dan Prancis.(2003: 278-292) Persoalan yang sangat penting
dipikirkan saat ini adalah bagaimana cara untuk memanfaatkan potensi yang cukup
besar itu.
Memang,
dari potensi Rp.7,5 triliun itu, dana yang berhasil dimobilisasi secara
terorganisir baru sekitar Rp. 1 triliun pertahun. Namun jumlah ini jelas sudah
sangat besar. Azyumardi Azra, Rektor UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif
Hidayatullah Jakarta, pernah menyatakan bahwa jika dana Ziswah itu bisa
dimanfaatkan dengan baik, maka LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di
Indonesia yang selama ini sangat bergantung pada pemberian dana dari luar
negeri akan bisa bersikap lebih independen dengan cara melepaskan
ketergantungannya pada lembaga-lembaga donor asing.(Republika, 17/6)
Pola Pemanfaatan Dana Ziswah
Dalam pemahaman
dan praktek tradisional, pemanfaatan dana zakat, infak, dan sadaqah biasanya
ditekankan pada fungsi relief atau diberikan langsung dalam bentuk uang
dan makanan. Sementara wakaf, biasanya hanya dalam bentuk tanah dan digunakan
untuk pembangunan masjid atau madrasah. Delapan kelompok yang berhak menerima
zakat (ashnaf) yang terdiri dari fakir, miskin, amil, gharim (orang
yang berhutang), muallaf (orang yang baru masuk Islam), ibnu sabil (musafir),
sabilillah (untuk perjuangan di jalan Allah), dan budak biasanya menerima
langsung bantuan tanpa tersistematisasikan dengan baik.
Pola pengelolaan
dan pemanfaatan Ziswah yang lebih maju dari pola tradisional itu adalah apa
yang dilakukan oleh beberapa LAZ dan BAZ. Satu kelebihan yang sering diandalkan
LAZ dan BAZ terhadap pola tradisional adalah masalah transparansi. LAZ dan BAZ
membuka diri untuk diaudit oleh akuntan publik. Mereka juga secara rutin
mengumumkan penerimaan dan pemanfaatan Ziswah kepada publik melalui media
massa, website, dan sebagainya. Transparansi inilah yang sering alfa dalam
pola-pola Ziswah tradisional.
Namun demikian, dari segi pemanfaatan
Ziswah, sering dinyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh LAZ dan BAZ itu
sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan pola-pola tradisional. Pola umum dalam
penyaluran Ziswah yang dilakukan oleh LAZ dan BAZ masih berkutat dalam bentuk
karitas (charity) dan orientasi mercusuar.
Distribusi Ziswah dengan pola karitas
adalah menekankan fungsi Ziswah untuk membantu orang yang tak berdaya dalam
bentuk yang paling sederhana, seperti meringankan penderitaannya dengan memberi
makanan, menyekolahkan, dan membantu pengobatan. Sifat dari bantuan ini adalah relief
(mengurangi penderitaan), bukan release (menghilangkan penderitaan).
Sasaran dari distribusi Ziswah model ini adalah individu. Indikator
keberhasilannya adalah seberapa banyak jumlah individu yang ditolong.
Program-program yang dikembangkan oleh Lazis dan Bazis, barangkali, hampir
seluruhnya mengikui pola ini. Ambulance keliling gratis, layanan kesehatan
cuma-cuma, pembangunan WC umum,
pemberian makanan, dan sejenisnya. Hasil dari distribusi Ziswah model ini
bersifat sementara. Setelah menerima bantuan, orang-orang yang lemah itu akan
mudah sekali kembali terjatuh dalam kesengsaraannya.
Tuntutan transparansi adalah positif.
Namun tuntutan ini seringkali menjebak pengelola Ziswah untuk berpikir dan
berorientasi mercusuar. Pernah dalam suatu pelantikan pimpinan organisasi
pengelola zakat, dalam pidatonya ketua terpilih organisasi itu mengungkapkan
salah satu targetnya adalah menciptakan program atau bangunan mercusuar dari
dana Ziswah, sehingga ada bukti konkrit pemanfaatan Ziswah, umat atau muzakki
(pemberi zakat) bisa melihat hasil dari dana yang mereka keluarkan. Banyak
pengelola zakat yang saat ini berlomba untuk memiliki bangunan besar atau
program mercusuar dari dana Ziswah.
Dari Karitas Menuju Pemberdayaan
Pada beberapa aspek, pola karitas dan
orientasi mercusuar bisa dibenarkan. Misalnya, dilihat pada masih banyaknya
rakyat miskin yang akan mati bila tak diberi bantuan yang bersifat segera. Dari
segi muzakki, banyak yang masih menuntut bukti kasat mata dari dana
Ziswah yang mereka keluarkan. Hanya saja, pola ini tidak bisa dipertahankan
terus-menerus. Pola karitas harus segera didampingi dengan pola pemberdayaan.
Asumsinya, kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat itu disebabkan oleh tak
terberdayakannya potensi mereka. Masyarakat menjadi miskin karena mereka tak
memiliki keahlian untuk bekerja, tak terlatih, dan tak memiliki modal. Untuk
itu, harta Ziswah harus digunakan untuk memberdayakan masyarakat dalam bentuk
pendidikan, pelatihan, pemberian modal, dan pendampingan. Sasaran yang
dikehendaki dari pola ini adalah transformasi sosial.
Pola pemberdayaan jauh lebih sulit
dibanding pola karitas. Di samping itu, ia sangat rentan terhadap kegagalan.
Pola karitas lebih mudah ditangani dan cenderung terlihat sukses. Hasil dari
pola karitas bersifat tangible, bisa dilihat dalam waktu cepat dan
nyata. Transformasi sosial membutuhkan dana besar, waktu lama, dan hasilnya
tidak bisa dilihat secara nyata. Memang ada indikator keberhasilan atau
kegagalan, indikator perubahan sikap masyarakat, serta ukuran lain untuk
melihat dampak dari pemberdayaan. Hanya, bila dibandingkan dengan upaya
non-pemberdayaan, hasilnya jauh berbeda. Dana sebesar Rp. 100 juta yang
diberikan kepada masyarakat untuk pembangunan masjid akan bisa dilihat hasilnya
secara nyata dan cepat. Dana dalam jumlah sama atau bahkan 10 kali lipat belum
tentu berhasil memberdayakan 10 orang.
Pola pemberdayaan adalah satu sekuen
yang wajib diikuti setelah melaksanakan pola pertama jika ingin menggunakan
dana Ziswah secara lebih bermanfaat. Untuk ini, di samping perlu kerja keras,
juga perlu keberanian teologis. Artinya, perlu dekonstruksi dan rekonstruksi
pemaknaan terhadap ashnaf, amil (pengelola zakat), dan teks-teks kitab
suci lain. Amil bukan sekadar berfungsi sebagai robot yang menyalurkan
Ziswah orang kaya kepada orang miskin, tapi ia harus kreatif dalam mendistribusikan.
Amil harus berijtihad dengan menggunakan dana Ziswah untuk transformasi
sosial dan berani salah dalam berijtihad.
Memang, ada tahapan lebih lanjut dari
sekadar pemberdayaan masyarakat, seperti penggunaan Ziswah untuk social
movement. Hanya saja, ini adalah tahap yang sudah cukup jauh. Merupakan
prestasi besar bila pola karitas yang ada di Indonesia saat ini bisa berkembang
menjadi pola pemberdayaan. Akhirnya, jika ingin melihat harta Ziswah lebih
bermanfaat dari apa yang terjadi saat ini, maka sebetulnya tugas pengumpulan
itu jauh lebih mudah daripada pendistribusian, bertanggungjawab kepada muzakki
itu jauh lebih mudah daripada bertanggungjawab kepada penerima (mustahiq).
oo0oo
No comments:
Post a Comment