Sebanyak 21 orang meninggal dunia akibat
terjatuh dan terinjak-injak atau kekurangan oksigen ketika antre untuk menerima
zakat sebesar Rp 30 ribu dari H Sya’roni, Pasuruan (25/9). Ditengah banyaknya
lembaga penyalur (amil) zakat, pemberian zakat secara langsung yang
kemudian memakan korban tentu dianggap sebagian orang sebagai tragedi
memilukan. Lantas muncul penilaian bahwa penyaluran zakat secara langsung dari
penderma kepada fakir miskin kemungkinan menunjukkan rendahnya kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga amil zakat (LAZ) yang menjamur di Indonesia paska
ditetapkannya UU Zakat No. 38 tahun 1999.
Analisa di atas jelas belum tentu benar
mengingat penyaluran zakat dari individu ke individu bisa jadi berangkat dari
pemahaman keagamaan terlalu harfiah seseorang, bahwa tangan di atas lebih baik
dari tangan dibawah, atau karena keinginan untuk melihat langsung si penerima.
Namun analisa itu perlu dilihat lebih dalam. Bisa jadi para dermawan saat ini
mulai berpikir, “Untuk apa memberikan zakat melalui lembaga penyalur zakat,
jika ternyata dana zakat itu dipakai untuk kampanye dari partai yang
berafiliasi ke lembaga zakat tertentu.”
Lembaga penyalur zakat PKPU (Pos Keadilan
Peduli Umat), misalnya, meski tidak ada hubungan struktural dengan PKS (Partai
Keadilan Sejahtera), namun lembaga ini didirikan oleh PKS. Dalam kerja dan
pendistribusian di beberapa tempat, para petugas PKPU, dengan sengaja atau
tidak, memakai berbagai atribut PKS seperti kaos dengan logo partai itu.
Lembaga zakat dan sedekah dari radio, surat kabar, atau televisi tertentu juga
melakukan hal yang serupa. Bagi mereka, distribusi zakat memiliki makna ganda,
yaitu: Pertama, menyalurkan zakat atau sedekah itu sendiri dan, kedua, promosi
dari institusi penyalur tersebut. Ketidaktulusan ini barangkali memberi andil
bagi ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat.
Politik Zakat
Zakat adalah salah satu dari rukun Islam
yang lima. Tujuan dari perintah ini adalah agar umat Islam yang kaya membantu
saudara-saudaranya yang mengalami kesulitan materi atau hidup dalam kemiskinan.
Namun zakat dan sedekah ini melangkah lebih jauh dari persoalan tolong-menolong
ketika politik atau partai politik terlibat didalamnya. Ini tidak hanya
berkaitan dengan proses perundang-undangan, namun juga cara mengoleksi dan
distribusi.
Kemunculan UU Zakat itu sempat menjadi
dilema bagi pemerintah. Pada zaman kolonial, dan ditiru di era Orde Baru,
kekuatan ekonomi umat Islam melalui pengumpulan zakat sangat ditakuti
pemerintah. Potensi itu bisa menjadi ancaman bila dipakai untuk kepentingan
politik melawan pemerintah. Bayangkan, satu lembaga amil zakat (LAZ) saja,
seperti Dompet Dhuafa (DD), mampu mengumpulkan dana senilai 35 miliar rupiah
dalam setahun (2007). Konon, Universitas Al-Azhar, Mesir, bisa mendapatkan endowment
lebih besar dari APBN negeri Fir’aun itu. Pemerintah Mesir lantas
menasionalisasi kekayaan Al-Azhar karena ketakutan terhadap lembaga ini. Karena
itulah, di Indonesia, payung hukum untuk lembaga zakat baru muncul setelah
Reformasi.
Sekarang ini, kekhawatiran terhadap
penggunaan dana zakat, infaq, dan sedekah untuk kepentingan politik muncul lagi
di sebagian kalangan. Ketika partai tertentu memanfaatkan pendistribusian zakat
untuk kepentingan kampanye, maka beberapa orang Islam yang tidak tergabung
dalam partai tersebut merasa gerah dengan gerak langkah selama pendistribusian
zakat. Ketika terjadi bencana alam, bendera partai-parta politik berkibar di
lokasi bencana. Inilah diantaranya yang melatarbelakangi munculnya gagasan
(yang sekarang sudah bergulir) untuk merevisi atau menghapus UU Zakat No. 38
tahun 1999.
Zakat untuk Kemanusiaan
Bagi sementara kalangan, munculnya
Undang-undang tentang zakat merupakan bagian dari proses “politik Islam”; untuk
menegakkan negara Islam atau minimal “menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya”. Kelahiran UU Zakat No. 38 tahun 1999 sendiri bisa dilihat sebagai
salah satu petunjuk bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler seperti dalam
konsepsi sekulerisme di Eropa dan Amerika. Dalam konteks ini, negara tidak
sekedar memberikan jaminan terhadap ekspresi keberagamaan, namun juga
memberikan kekuatan hukum kepada agama untuk ikut serta dalam penataan dan
pembangunan negara.
Untuk menghindari kehawatiran tentang
munculnya negara Islam dan untuk menghindari politisasi zakat untuk kepentingan
politik partai tertentu, maka zakat perlu dikembalikan pada misi
kemanusiaannya. Selama ini ada anggapan bahwa karena perintah zakat berangkat
dari agama Islam lantas pendistribusian dananya hanya diperuntukkan bagi umat
Islam. Jika suatu bencana atau kemiskinan menimpa daerah non-Muslim, lantas
tidak ada dana zakat yang mengalir ke daerah itu. Ini tentu bisa menimbulkan
penilaian buruk. Kemiskinan sifatnya universal, tidak menganut agama. Karena
itu, sifat kemanusiaan zakat harus mengalir kesana, tanpa melihat baju agama.
Kembali ke tragedi Pasuruan, tentu
peristiwa itu tidak dikehendaki oleh sang dermawan. Peristiwa itu mungkin tidak
bakal terjadi jika tidak ada unsur politik (dalam arti luas, termasuk yang
sifatnya pribadi) didalamnya. Ketika tangan kanan memberi, upayakan tangan
kanan tak melihatnya. Maka, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!
-oo0oo-
No comments:
Post a Comment