Monday, May 17, 2010

Sekularisasi Partai Politik Islam

Kompas, Rabu, 28 April 2010 | 04:15 WIB
istimewa

Oleh R.N. Bayu Aji*

Wacana sekularisasi yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid selaku cendekiawan muslim sempat ramai diperbincangkan di negeri ini. Beliau pertama kali mempublikasikan ide pembaruannya itu di majalah Arena dan secara tegas dikemukakan dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki Jakarta tahun 1970.

Pengertian sekularisasi menurut Nurcholis Madjid berangkat dari pola pemikiran dan pemahamannya bahwa islam sebenarnya berawal dari bentuk perkembangan yang membebaskan. Pemikir yang akrab disapa Cak Nur ini kemudian menjelaskan bahwa sekularisasi merupakan istilah teknis dan tidak sama dengan sekularisme.

Buku yang ditulis oleh Irsyad Zamjani dengan judul Sekularisasi Setengah Hati: Politik Islam Indonesia dalam Periode Formatif ini hendak mengungkapkan sekularisasi yang dilakukan oleh partai politik islam jauh sebelum Cak Nur mengungkapkan konsep sekularisasi. Namun, konsep sekularisasi Cak Nur memiliki peran penting sebagai landasan konseptual buku ini dalam menganalisa kelompok islam di Indonesia.

Sebelum mengulas sekularisasi partai politik islam, Irsyad mengajak pembaca buku ini untuk menelusuri titik pangkal sekularisasi di Indonesia dari sudut pandang historis. Di negara-negara Islam di Asia dan Afrika, ideological broker dari proses sekularisasi tidak bisa terlepas dari modernisme islam dan sosialisme yang menggejala dari Turki era Mustafa Kemal Ataturk dan Mesir era Gamal Abdul Nasser.

Kedua hal tersebut mengkonversi islam tradisional kepada suatu humanisme-pragmatisme sekuler yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Menurut Irsyad, arus besar gagasan sosialisme yang telah ada sejak awal abad dua puluh di Indonesia melapangkan jalan bagi pencarian legitimasi teoritis perjuangan nasional anti-imperialisme maupun penemuan identitas baru dalam islam.

Sosialisme dengan cepat menginfiltrasi organisasi massa terbesar di Indonesia (Hindia-Belanda) seperti Sarekat Islam (SI) dan organisasi intelektual mahasiswa paling berpengaruh yakni Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda. Perpaduan modernisme Islam asal Timur Tengah dan sosialisme inilah yang kemudian hari juga membentuk ideologi partai politik islam seperti Masyumi, PSII, Perti, dan NU.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan modus sekularisasi islam itu sendiri?

Munculnya berbagai organisasi pergerakan pada awal abad XX di tanah air tidak selalu disertai oleh alasan-alasan yang bertujuan sebagai unifikasi komunitas kebangsaan (Indische Partij, Sarekat Islam, Perhimpunan Indonesia), etnisitas (Budi Utomo, Jong Java, Jong Celebes, dsb.), atau ideologi (ISDV, SI, PKI). Kemunculan organisasi itu juga bisa dimaknai sebuah upaya subyektif para pendirinya untuk membentuk atau mengukuhkan komunitas baru.

Pembentukan organisasi-organisasi tersebut lebih bertujuan mentransformasikan sebuah tradisi yang telah ada ke dalam bentuk yang lebih baru. Hal ini menjadi ciri khas dari pergerakan-pergerakan yang muncul atas nama islam. Kemunculan organisasi tersebut ternyata mentransformasikan umat islam ke dalam identitas-identitas politik-kultural dan ideologi baru.

Muhammadiyah yang muncul pada tahun yang sama dengan Sarekat Islam membentuk komunitas islam modernis bersama Persatuan Islam (1920), Persyarikatan Ulama (1911), Jam’iyat Khair (1905) dan Al-Irsyad (1913) di Jawa dan Persatuan Muslimin Indonesia (1929) di Sumatera. Di sisi lain, Nahdlatul Ulama (1926) di Jawa bersama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1930) di Sumatera membentuk komunitas islam tradisional.

Umat Islam Indonesia sebelumnya tidak pernah terkotak dalam kelompok-kelompok yang pada gilirannya membentuk komunitas ideologis ini. Setidaknya ada tiga alasan yang menjadi latar belakang pembentukan kelompok-kelompok ini yakni kebutuhan akan eksistensi, tuntutan modernisasi dan konflik kepentingan (hlm. 55-56).

Pada awal kemerdekaan, konsolidasi politik untuk merumuskan bentuk negara mutlak diperlukan. Kelompok-kelompok islam baik yang dianggap “modernis” maupun “tradisional” sebagai wakil islam dengan kelompok nasionalis sekuler seperti PNI, PKI dan PSI dalam tataran praktiknya lebih mengedepankan pentingnya menegakkan negara baru yang multikultur daripada berkeras memaksakan syariat islam.

Dengan bukti itulah, Irsyad menyimpulkan proses sekularisasi partai politik islam di Indonesia dalam rumusan bentuk negara merupakan bentuk nyata sekularisasi itu sendiri. Ada tiga aspek yang bisa jadikan untuk mengidentifikasi sekularisai partai politik islam di Indonesia.

Pertama, yakni sekularisasi pada tataran basis legitimasi dengan mengurangi peran-peran ulama. Hal itu ditunjukkan oleh Masyumi saat mengerdilkan dewan syuro yang banyak dihuni oleh kiai NU. Selanjutnya dapat dilihat dalam tubuh PSII yang tidak memiliki lembaga khusus yang menampung suara ulama.

Kedua, sekularisasi identitas kelompok yang merupakan jalan pembangunan identitas baru dalam partai politik islam. Pembangunan identitas itu ditegaskan dengan penyebutan istilah partai islam tradisionalis-lokal (PNU, Perti), kosmopolit-modernis serta modernis-konservatif.

Ketiga, sekularisasi sebagai pragmatisasi sebagai akibat dari liberalisme politik selama era demokrasi parlementer. Sikap pragmatis tersebut seringkali diterapkan melalui visi dan ideologinya. Partai islam kecil seperti Perti dan PSII karena tuntutan perluasan pengaruh akhirnya lebih menjadi petualang politik sehingga harus kompromi dengan PKI yang jelas secara ideologi berbeda.

Sedangkan Masyumi lebih menonjolkan perbedaan pandangan yang bersifat individualis seperti kasus antara Natsir dan Soekiman dalam persoalan ekonomi. Sementara kasus NU seringkali para ulamanya menyiapkan diri mereka sebagai ”penjamin keabsahan” tindakan pragmatis para politisinya.

Secara teoritik, sebenarnya politisi islam masih ingin menunjukan bahwa mereka bagian dari perjuangan politik islam. Namun seringkali tidak memiliki kejelasan format perjuangan. Secara ideologi islam politik tidak bisa dihapuskan. Akan tetapi partai politik islam lebih nyaman menyusuri jalan demokrasi sekuler.

Selain membahas sekularisasi pada saat periode formatif (1945-1945), Irsyad dalam epilognya juga menganaliasa sekularisasi partai politk islam di era reformasi. Terdapat modus baru yang dilakukan oleh partai politik islam yakni dari islam politik menjadi islam populer untuk mendulang suara dalam pemilu atas nama islam itu sendiri.

Meskipun buku ini terkesan serius, namun wacana yang dilemparkan oleh penulisnya mengenai sekularisasi partai politik di Indonesia tidak akan pernah usang. Buku ini mermanfaat bagi semua kalangan, baik akademisi, paraktis politik, mahasiswa untuk memahami sejarah panjang sejarah politik islam dan sekularisasi partai politik islam.

* R.N. Bayu Aji
Penulis Buku, Alumnus Departemen Ilmu Sejarah Unair
Peneliti HISTra (History Institute for Society Transformation)

Penulis : Irsyad Zamjani
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta
Cetakan : Pertama 2010
Tebal : xxxiv + 265 Halaman
Ukuran: 15 x 21 cm

No comments:

Post a Comment