Monday, March 29, 2010

Rekulturisasi Syariat Islam (Catatan untuk M Ishom El Saha)

Rekulturisasi Syariat Islam (Catatan untuk M Ishom El Saha)

Tulisan saya terdahulu yang bertajuk, “Formalisasi Syariat Islam, Mengapa Tidak?” (Media Indonesia, 6/10/2000) adalah sebuah wacana yang berupaya menepis pesimisme formalisasi syariat Islam dilihat dari sisi politis. Pandangan yang saya kemukakan lebih sebagai sebuah respons terhadap aras pemikiran yang berkembang pada saat itu—yang cenderung sinis dan pesimistis—serta sekadar ingin menunjukkan kekecewaan saya terhadap aktivisme politik umat Islam yang sangat tidak kondusif bagi terwujudnya upaya tersebut. Hal ini dapat dipahami, karena faktor politik adalah salah satu indikator penting bagi niscaya atau tidaknya penegakan syariat Islam di negeri ini.

Perdebatan dalam tema yang sama kini kembali menghangat. Kali ini penekanan (stressing) diskusi diarahkan pada peluang formalisasi syariat Islam dilihat dari sisi budaya termasuk yurisdisial. Namun agaknya masih memunculkan nuansa yang hampir serupa, yakni irama sinis dan pesimistis. Hal ini dapat dicermati dari ketiga tulisan sebelumnya oleh Topo Santoso dalam “Penyoal Penegakan Syariat Islam” (MI, 15/6/2001), Sulthan Fathoni dalam “Syariat Islam, Antara Cita dan fakta” (MI, 6/7/2001), dan M. Ishom El Saha dalam “Problem Yuridisial Syariat Islam” (MI, 13/7/2001). Dari ketiga artikel tersebut, tampaknya tulisan saudara M. Ishom El Saha (Ishom) menarik untuk dikritisi.

Maraknya tuntutan penegakan syariat Islam akhir-akhir ini, dalam sebuah pernyataan Ishom, lebih merupakan ‘kelatahan’ wacana yang menjangkiti umat Islam sejalan dengan euforia kebebasaan sebagai ekses negatif dari gerakan reformasi. Oleh karenanya, tuntutan semacam ini tidak lebih hanya sebuah ‘pengharapan’ (estimate) umat Islam yang jauh panggang dari api. Demikian salah satu sorotan Ishom berkenaan dengan fenomena di atas.

Benarkah demikian? Tidak juga benar. Sebab, kesadaran politik umat Islam, terutama para elite politik, berkenaan dengan keinginan pemberlakuan syariat Islam dalam sistem hukum dan politik di Indonesia sesungguhnya bukan ide baru, apalagi sekadar basa-basi. Keinginan (political will) tersebut, jika dirunut dalam sejarah, telah lahir setua usia negara kesatuan Republik Indonesia. Fenomena penghapusan ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta adalah fakta sejarah yang tak dapat dibantah. Peristiwa tersebut membuktikan betapa kuat keinginan para elite politik Islam pada saat itu, yakni menghendaki penegakan syariat Islam secara konstitusional (formalisasi), tidak dalam lingkup personal (cermati kasus penerapan hukum rajam di Maluku atas inisiatif penuh laskar jihad ahlussunah waljama’ah dan masyarakat setempat di bawah pimpinan ustadz Ja’far Umar Thalib). Dari titik ini, tampaknya Ishom telah melupakan sejarah (ahistoris).

Kesan melupakan sejarah (ahistoris) juga tampak dalam pandangannya yang menafikan yuridisial atau sistem yurisdiksi Islam dalam rentang kepemimpinan Muhammad Saw. hingga awal abad XVIII. Padahal, performance Muhammad Saw. disamping sebagai seorang utusan pembawa ajaran Allah Swt., berupa sistem keberagaan yang disebut “Syariat”, juga memerankan peranan yang lain menyangkut fungsi eksekutor (imâmah) dan yudikator (mahkamah/qadhâ’). (QS. Al-Nisâ’: 51, al-Mâ’idah: 65, 105)

Meski masih terlampau bersahaja jika diukur dengan sistem kekinian, penegakan hukum (law enforcement) berdasarkan syariat Islam pada masa itu, seperti dipaparkan Muhammad Salam Madkur dalam Al-Qadhâ’ fi al-Islâm (1964), telah diwujudkan dengan sangat baik oleh umat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw.. Dan terbukti, kurun ini menjadi proyek percontohan (pilot project) bagi perwujudan masyarakat Islam yang ideal atau masyarakat madani (khayr al-qurûn qarni). Oleh karenanya, kesederhanaan sistem peradilan dan perundang-undangan, pada masa itu, tidaklah tepat untuk dijadikan sebagai alasan untuk menafikan yuridisial syariat Islam.

Dari sisi ini juga, Ishom melontarkan kekhawatirannya akan gagalnya formalisasi syariat Islam, dengan merujuk pada rencana pemberlakuan hukum Islam di Aceh dengan UU Nangroe-nya dan kekisruhan konstitusi politik di Iran, dengan menyorot resistensi walâyat al-Faqîh sebagai sebuah sampel. Saya menduga, kekhawatiran ini merupakan refleksi ketidakyakinannya—dan keraguan banyak pihak—terhadap kekuatan syariat Islam sebagai sebuah solusi. Padahal sistem keberagamaan Islam menghendaki keyakinan dan implementasi hukum-hukum Allah (syariat Islam) tanpa tawar-menawar (QS. al-Mâ’idah: 47, 48, dan 50). Dengan demikian, penegakan syariat Islam dengan segala risikonya dalam konteks teologi Islam menjadi hal yang sangat menjanjikan disamping merupakan bagian dari sistem keimanan umat Islam yang tidak pantas diragukan.

Oleh karenanya, syariat Islam dan umat Islam sejatinya menjadi dua variabel yang menyatu. Karena komitmen atau penundukkan diri seorang muslim (al-islâm) kepada Islam mengandung konsekuensi bahwa ia siap menerima segala aturan main yang ada di dalamnya. Dalam perspektif sejarah hukum kolonial Belanda, Van Den Berg (1645—1927) memberikan pengakuan secara politis dan ilmiah terhadap kenyataan di atas melalui teori Receptio in Cimplexu. Menurutnya, hukum Islam diberlakukan secara penuh terhadap para pemeluknya, meskipun dalam pengamalannya terdapat perbedaan yang tidak substansial antara masyarakat Arab dan umat Islam di Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia, penerapan hukum ini pun telah dilakukan dengan diundangkannya UU Perkawinan no. 1 tahun 1974, UU Peradilan Agama no. 7 tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui inpres no. 1 tahun 1991, dan beberapa peraturan perundang-undangan yang lain.

Pemberlakuan beberapa perundang-undangan di atas setidaknya dapat membuka mata kita akan keniscayaan formalisasi syariat Islam di Indonesia, terlepas dari pro-kontra menyangkut materi dan pengolahan perundang-undangan, seperti yang disinyalisasi Ishom dalam kasus KHI. Namun ironinya, perundang-undangan tersebut masih belum dirasakan—oleh sebagian besar umat Islam—sebagai sumbangsih dan merupakan bagian dari syariat Islam. Dari titik ini saya melihat kuatnya pengaruh budaya (culture) yang berakibat lemahnya pengakuan dan pengetahuan (pemahaman) umat Islam terhadap syariat Islam.

Rekulturisasi: Sebuah Solusi

Persoalan krusial yang selalu mengkandaskan ide pemberlakuan syariat Islam dalam semua lini, termasuk dalam lingkup parlementariat, adalah menyangkut tingkat kesadaran umat Islam terhadap urgensi formalisasi syariat Islam di Indonesia. Hal ini menjadi dapat dipahami jika mencermati dua persoalan sejarah politik hukum yang—langsung atau tidak—telah berimplikasi pada pola pikir dan sikap keberagamaan (baca. budaya) umat Islam. Pertama, strategi politik hukum penjajah Belanda yang diinspirasikan oleh sosok Christiaan Snouck Hurgronje (1857—1936) telah menanamkan pemahaman yang keliru terhadap keberadaan hukum Islam, terutama di Jawa. Dengan teori hukum “receptie”-nya, Hurgronje membenamkan keraguan di benak bangsa Indonesia—terutama umat Islam—terhadap keunggulan sistem hukum Islam dibanding sistem hukum lainnya (hukum Adat dan Barat). Teori receptie meniscayakan pemberlakuan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat jika memiliki relevansi atau kesesuaian dengan hukum adat. Teori ini, dengan demikian, secara politis telah menjatuhkan pamor hukum Islam di mata para pemeluknya.

Pemikiran politis yang juga diimplementasikan dalam kebijakan pemerintah kolonial ini tidak hanya berimplikasi pada surutnya legitimasi (delegimitation), tapi secara perlahan melahirkan pemahaman yang salah (misinterptretation) terhadap syariat Islam itu sendiri. Dan dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman mengenai syariat Islam mulai mengalami bias. Syariat Islam dianggap sebagai hukum Islam, dan hukum Islam selalu diidentikan dengan sadisme hukum pidana Islam yang Arabsentris itu. Padahal syariat Islam tidak sekadar hukum Islam (al-hukm al-Islâmi) yang kerap dicitrakan—oleh sementara orang dengan hukum pidana—pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia itu. Syariat Islam adalah sistem yang mengantur kehidupan umat Islam secara totalitas, baik spiritual-vertikal (mahdhah) maupun sosial-horizontal (mu’âmalah), termasuk di dalamnya aspek individual (privacy). Pemahaman yang salah—sebagai pengaruh dari politik hukum kolonial—itu agaknya masih dirasakan pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam hingga kini, terutama bagi yang merasa alergi terhadap pemberlakuan syariat Islam.

Kedua, strategi politik hukum orde baru sesungguhnya tidak seluruhnya memiliki nilai positif. Setidaknya pada permulaan kekuasaan rezim ini. Tesis Robert W. Hefner (2000: ix) yang menyebutkan bahwa kepemimpinan orde baru memiliki orientasi nilai yang dirujuk pada sistem nilai Hindu–Budha—dan inilah yang menjadi alasan mereka untuk berusaha mengontrol Islam politik—agaknya memiliki relevansi. Kecenderungan ini, pada akhirnya membuat umat Islam secara politis terpinggirkan.

Mengikuti alur politik orde baru memang cukup membingungkan. Pada masa-masa awal pemerintahannya, rezim orde baru begitu dekat dengan umat Islam. Hal ini dilakukan dalam rangka mencari kawan dalam kampanye penghancuran Partai komunis Indonesia (PKI). Dari sisi ini umat Islam sesungguhnya telah dimanfaatkan secara politis. Kebijakan ini berubah secara substansial pada awal tahun 1970-an, rezim tersebut melepas semua pretensi kerja sama dan berusaha menahan organisasi-organisasi Islam sekaligus. Untuk tujuan ini, penguasa orde baru membangkitkan kembali formula penjajah Belanda. Kebijakan tersebut menggabungkan toleransi terhadap “Islam normatif” dengan kontrol yang keras terhadap semua bentuk “Islam Politik”.

Perlakuan yang represif terhadap Islam politik tersebut, dalam pandangan saya, akhirnya telah berakibat mandulnya kekuatan Islam dari sisi perjuangan parlementariat (politik) dan jatuhnya pamor Islam, dalam hal ini ajarannya (syariat Islam). Tindakan-tindakan rezim ini telah pula membuat umat Islam tidak memiliki keberanian dalam menyuarakan aspirasinya. Pemicu semua ini, sebagaimana disinyalisasi Robert W. Hefner, adalah adanya persaingan politik antara “Islam abangan” dan “Islam santri”. Kedua hal yang bernuansa politis di atas, dengan demikian, memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap penilaian dan penerimaan syariat Islam sebagai sistem ajaran yang terlembagakan dalam politik.

Syariat Islam yang notabene lahir di Arab harus diakui memiliki spesifikasi sosiologis. Yakni bernuansa Arabsentris. Hukum Islam yang lahir pada waktu itu memang memiliki kedekatan dengan pola hidup bangsa Arab jika dilihat dari sisi budaya. Namun tetap tidak menghilangkan keuniversalan ajarannya yang menjadi karakteistik dominan hukum Islam. Oleh karenanya, syariat Islam dengan pelbagai bagiannya telah memposisikan dirinya sebagai sesuatu yang dapat dipikirkan (thinktable) bukan hal yang tidak dapat dipikirkan (unthinktable), sebagaimana yang dikhawatirkan Ishom. Inilah agaknya makna yang dimaksud bahwa “Al-Islâm shâlih li kulli zamân wa makân” (Islam akan tetap relevan pada setiap zaman dan kondisi). Dengan demikian, keengganan formalisasi syariat Islam dengan dalih benturan budaya lokal, dalam pandangan doktrin hukum Islam, sama sekali tidak dapat menjadi alasan.

Mencermati kenyataan di atas, maka ide rekulturisasi syariat Islam, yakni menyelaraskan ruh syariat Islam dengan budaya lokal, adalah hal yang cukup kompromistis. Dengan begitu kendala kultur yang menghadang formalisasi syariat Islam menjadi tidak relevan lagi. Tinggal kita menunggu kemauan politik (political will) dari para elite di parlemen untuk merealisasikannya. Persoalannya, maukah mereka memahami ? Wallâhu a’lam bi al-Shawâb.

Sumber: Media Indonesia 2001

No comments:

Post a Comment