4 Januari 2013
Dalam pernyataannya terkait dengan Perda
larangan ngangkang atau phang dan pheng (bahasa Aceh red) bagi
perempuan yang dibonceng di atas sepeda motor, Sekretaris daerah Kota
Lhokseumawe, Dasni Yuzar, menyatakan bahwa peraturan tersebut merupakan
bagian untuk menegakkan syari’at Islam secara kaffah terutama di Kota
Lhokseumawe.
Secara implisit pernyataan Dasni Yuzar
merepresentasikan pandangan yang memahami bahwa perda syari’ah yang
berlaku di daerah otonom seperti Aceh bersifat sakral. Sakralitas ini
ditopang oleh teks-teks suci dalam agama Islam.
Namun menurut Ketua Pengurus Cabang
Istimewa NU Amerika-Kanada, Akhmad Sahal, perda syariah bukanlah
syariah. Perda syariah sama sebagaimana perda-perda lain. Yang
dihasilkan oleh lembaga legislatif.
“Perda syariah adalah perda, yang
sebagaimana perda-perda lain, bisa diperbaiki, diganti, atau bahkan
dihapus sama sekali. Dengan kata lain, perda syariah adalah aturan
buatan sekumpulan manusia yang duduk di parlemen. Dan proses politik di
lembaga itu, kita tahu, seringkali diwarnai oleh kompromi kepentingan
dan tawar menawar politik di antara mereka. Oleh karena itu, mendukung
perda syari’ah tidak serta merta identik dengan menegakkan syariah. Dan
menentangnya tidak lantas berarti menentang syariah” ungkap Akhmad Sahal
di Akun Facebooknya.
Senada dengan hal itu, Peneliti Ma’arif
Institute, Ahmad Najib Burhani, menyatakan bahwa perda syari’ah sangat
mungkin didesakralisasi. Karena terkadang dalam perda syari’ah tidak
mencerminkan nilai-nilai Islam sama sekali. [Mh]
http://www.lazuardibirru.org/berita/news/perda-syariah-bukanlah-syariah/
No comments:
Post a Comment