By Ahmad Najib Burhani*
Apa persoalan
penting yang melatarbelakangi diselenggarakannya KUII (Kongres Umat Islam) ke-4
di Jakarta pada 17-21 April 2005 ini? Dalam sejarahnya, KUII selalu hadir
karena adanya masalah serius yang dihadapi umat Islam. KUII pada 1930-an dilatarbelakangi oleh
hancurnya kekhilafahan Islam di Turki, Pan-Islamisme, pergolakan di Hijaz, dan
keterbelakangan umat Islam. Komite Khilafat lahir pada kongres-kongres
di tahun itu. KUII pada 1940-an lahir karena perjuangan kemerdekaan dan peran
politik umat Islam yang tak menguntungkan. Dari sinilah lantas terbentuk
Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik umat Islam.
Pasca
kemerdekaan, KUII telah digelar tiga kali, yaitu 1945, 1949, dan 1998. KUII
1998 diadakan untuk merespon euphoria politik di Indonesia pasca
kejatuhan rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Meski KUII tahun itu
tidak melahirkan keputusan yang cukup berpengaruh bagi kehidupan umat Islam di
Indonesia, namun ia telah mencoba untuk merespon berbagai persoalan umat Islam
kontemporer, seperti hubungan Islam dan negara, Islam dan partai politik.
Barangkali,
persoalan paling serius yang dihadapi umat Islam pasca 1998 dan yang perlu
dibahas pada Kongres ini adalah masalah neoliberalisme dan neofundamentalisme.
Berbagai peristiwa yang berkaitan dengan dua isu tersebut, baik pada tingkat
lokal maupun internasional, telah bermunculan dalam rentang waktu antara 1998
hingga sekarang. Secara sporadiks, dua isu besar itu sudah mendapat tanggapan
dari berbagai kalangan Islam. Namun demikian, sebagai satuan utuh umat Islam
Indonesia, Kongres perlu memperhatikannya, tanpa harus terpaku dengan hasil
akhir berupa terumuskannya satu jawaban khusus.
Mencari Akar
Dalam Globalised Islam (2004), Olivier
Roy menyebutkan bahwa baik kelompok neoliberalis maupun neofundamentalis
sama-sama memiliki jawaban tipikal dan ready-made tentang apa itu Islam,
jihad, bom bunuh diri, status wanita, demokrasi dan sejenisnya? ‘Islam adalah
agama perdamaian’, ‘toleransi dan demokrasi memiliki akar kuat dalam Islam’,
dan ‘Islam menjunjung tinggi hak asasi manusia’ merupakan jargon-jargon yang
secara membosankan diulang-ulang kelompok neoliberalis. Sementara kelompok yang
berlawanan mengusung tema-tema yang tak kalah menjemukan, seperti ‘syariah
sebagai total solution’ dan ‘Islam adalah din wad daulah.’
Dari mana kedua kelompok tersebut mencari
referensi terhadap jawaban-jawaban itu? Tidak ada lain kecuali Al-Quran. Kitab
suci adalah teks multiinterpretasi. Ia akan berbunyi sesuai dengan siapa yang
membacanya; ditangan Nurcholish Madjid, Al-Quran bersuara toleran, ramah, dan
inklusif; dalam genggaman Osama bin Laden, Al-Quran menjadi menakutkan dan
kejam. Karena itu, ketika seseorang ingin menemukan jawaban tentang hal-hal
yang berkaitan dengan Islam, maka ia tak akan pernah menemukan jawaban yang
seragam. Jika kita bertanya tentang teologi Islam, maka ada teologi Asy’ari,
Maturidi, Syiah, dan lain-lain. Hukum Islam pun bervariasi, seperti, Maliki,
Hanafi, Syafii, dan Hambali.
Persoalan liberal atau fundamental memang
tidak bersumber dari Al-Quran. Kitab suci lebih sering difungsikan sebagai alat
legitimasi terhadap keyakinan-keyakinan yang telah dimiliki orang-orang
tertentu. Lantas darimana sumber dari sikap liberal dan fundamental itu?
Berbagai penelitian telah dilakukan dan berbagai teori pun lahir. Teori
ekonomi, misalnya, menyebut kemiskinan sebagai akar dari tindakan radikal dan violence.
Teori politik mengangkat kebijakan Amerika Serikat sebagai sumber persoalan.
Memang, semua teori itu memiliki kelemahan. Misalnya, jika kemiskinan yang
dianggap sebagai akar fundamentalisme, mengapa banyak generasi muda Muslim
Eropa, yang secara ekonomi cukup mapan, justru menjadi aktivis fundamentalisme.
Kemelaratan bisa menyebabkan orang mau mencuri atau bunuh diri, namun ia tak
mampu membuat orang mau membajak pesawat dan melakukan bom bunuh diri. Secara
politik, NU dan Muhammadiyah memberikan respon yang lebih sejuk daripada ormas
Islam lain dalam menyikapi kebijakan Amerika.
Teori lain tentang neoliberalisme dan
neofundamentalisme dikemukakan oleh Olivier Roy (1994) dan Robert W. Hefner.
Roy menyebutkan bahwa neofundamentalisme dan neoliberalisme Islam lebih banyak
berkaitan dengan westernisasi (atau globalisasi atau modernisasi) daripada
keinginan kembali kepada Al-Quran. Sebelumnya, Hefner dalam Civil Islam (2000)
juga menyatakan hal senada, bahwa berbagai gerakan Islam itu muncul sebagai
respons terhadap dunia modern.
Dari segi bentuknya, Roy menyatakan, respon
terhadap dunia modern itu terpentang dari spektrum yang paling moderat hingga
paling radikal. Pada fringe yang paling radikal terhadap pihak luar biasanya
melahirkan terorisme. Fringe lain adalah fringe paling sektarian yang biasanya
menerapkan konsep hijra dengan membentuk kelompok eksklusif. Senada
dengan Roy, Hefner mengklasifikasi bentuk respons itu ke dalam tiga model,
yaitu: respons dalam bentuk organik represif (a repressively organic
response), separatis sektarianisme (organic totalism for separatist
sectarianism), dan sipil Islam (a refigured religion, a civil response).
Kemana Kita Melangkah?
Teori budaya yang dikemukakan Roy dan Hefner
di atas terlihat lebih komprehensif dibanding teori lain. Banyak pemikir Islam
yang mencoba untuk merespons masalah globalisasi atau westernisasi ini secara
akademik. Naquib Alatas, misalnya, memilih untuk
melakukan de-Westernisasi ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Ziauddin Sardar
mencoba untuk “freeing Muslims from the ‘epistemological imperialism of the
West’” (membebaskan umat Islam dari epistemologi imperialisme Barat). Apa
yang dilakukan Sardar dan Alatas adalah pemberontakan terhadap universalisme
Barat, norma-norma dan nilai-nilai Barat. Mereka menolak tatanan dunia yang
didominasi oleh Barat. Mereka tidak menolak globalisasi, tapi menolak
universalisme Barat dalam membentuk dunia global ini. Mereka ingin membangun
sendiri bentuk dari universalisme itu.
Globalisasi
memang tidak bisa ditolak. Hal yang perlu dilakukan adalah dimana kita harus
memposisikan diri. Kelompok neofundamentalis Islam di Indonesia, seperti Hizbut
Tahrir, membagi globalisasi itu kepada dua bentuk, hadharah (ideologi
dan peradaban) dan madaniyah (produk). Mereka cenderung menerima
produk dunia global, seperti internet dan telefon, dan menolak ideologi di
belakangnya. Golongan neoliberal Islam, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal),
cenderung menilai bahwa umat Islam tak akan bisa maju dan hanya menjadi
konsumen jika tidak mengadopsi globalisasi secara total.
Globalisasi
samasekali tidak berkaitan dengan dogma Islam. Ia tak mengubah agama, tapi
mengubah sikap keberagamaan. Sebagai sebuah fenomena kultural, respon terhadap
globalisasi, demikian juga dalam menyikapi kelompok neoliberalisme dan neofundamentalisme,
tidak bisa dilakukan sekadar dengan merumuskan statemen verbal atau pernyataan
setuju dan tidak setuju. Dalam konteks ini, KUII hanya berfungsi sebagai forum
tempat mendistribusikan wacana dan mencerahkan pemikiran, sehingga lahir
kesadaran bersama, bukan lahirnya solusi instan. Paling banter, seperti
pertemuan para ilmuwan Islam di dunia yang pernah melahirkan IIIT (International
Institute of Islamic Thought) dan ISTAC Malaysia, maka KUII bisa
mempelopori lahirnya strategi dan pengembangan peradaban Islam tertentu dengan
membentuk institusi.
oo0oo
*Ahmad Najib Burhani
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia), Aktivis Pemuda Muhammadiyah
No comments:
Post a Comment