Ariel Heryanto, Victoria, Australia | Opinion | Sat, June 07 2008, 11:24 AM
Discussing issues of Caliphate, Shari'a, the role of religion in Indonesian Politics
Tuesday, April 30, 2013
Monday, April 29, 2013
When governments try to look more Islamic
Ariel Heryanto, Victoria, Australia | Opinion | Fri, June 06 2008, 1:15 AM
Tuesday, April 23, 2013
Bamusi Ingin Berdayakan Masyarakat Islam yang Nasionalis
Sabtu, 08 Oktober 2011 17:40 |
Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) yang merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan yang ingin memberdayakan masyarakat Islam secara nasionalis, dalam upaya menjagi empat pilar kebangsaan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan. "Baitul Muslimin Indonesia pada hakekatnya murni organisasi kemasyarakatan yang ingin menyampaikan syiar Islam dalam keranga nasionalis berbangsa dan bernegara dengan menjunjung tinggi toleransi beragama", kata Ketua Umum Bamusi Prof. DR Hamka Haq MA pada acara halal bi halal keluarga besar Bamusi se Sumatera Utara, di Hotel Grand Antares Medan, Sabtu (1/10). Hamka mengatakan, dalam kerangka demokrasi saat ini, Bamusi kita harapkan mampu memberikan manfaat dalam kehidupan berbangsa, bernegara dana beragama dengan tetap menjaga ukhuwah Islamiyah baik sesama muslim maupun non muslim dengan mengedepan Pancasila sebagai bentuk perwujudan manusia Indoensia seutuhnya. Hamka mengatakan, Bamusi bukan merupakan ormas Islam yang radikal dengan mengedepankan kekerasan dalam bertindak, tetapi kehadiran Bamusi ingin memberdayakan ummat Islam agar mampu bersaing menghadapi era globalisasi dan perkembangan Iptek saat ini. "Bamusi yang merupakan salah satu sayap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, akan berupaya memberikan kontribusi secara nyata dalam membangun bangsa dan negera ini", kata Hamka yang juga merupakan salah satu Ketua DPP PDI Perjuangan yang membidangi pendidikan budaya dan keagamaan. Sementara itu Ketua Bamusi Sumut Anwar Noor Siregar dalam sambutannnya mengatakan, halal bi halal seperti ini merupakan suatu bentuk keakraban yang patut terus dibangun, dalam upaya menjagi komitmen organisasi untuk membangun manusia Indonesia yang nasionalis tetapi agamais. Dalam kepengurusan Bamusi kata Noor Siregar, tidak ada kader yang ingin jatuh menjatuhkan, apalagi sampai mengkerdilkan seseorang hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. "Bamusi dalam kehadirannnya di tengah tengah masyarakat Sumatera Utara telah banyak memberikan dampak positif bagi pembangunan di daerah ini. Terutama dalam membangun kaidah-kaidah keagamaan yang berdemokrasi dengan tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan hadist serta empat pilar kebangsaan", kata Noor. Secara terpisah Penasehat Baitul Muslim Indonesia H.Alamsyah Hamdani SH mengatakan, ke depan Bamusi sebagai organisasi kemasyarakatan yang juga merupakan salah satu sayap partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan di Sumatera Utara , terutama dalam membangun demokrasi dan kaidah-kaidah agama. Acara yang bertemakan, Melalui Halal bi halal Kita Wujudkan masyarakat Muslim yang Demokratis, menghargai kebhinekaan dan toleransi terhadap sesama, dihadiri Wakil Ketua DPRD Sumut M. Affan Sos dan ratusan undangan. (di) sumber:www.analisadaily.com http://pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=662:bamusi-ingin-berdayakan-masyarakat-islam-yang-nasionalis&catid=74:bamusi&Itemid=124 -----------
Dalam sambutannya, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyatakan PP Baitul Muslimin diharapkan dapat sebagai wadah penangkal radikalisme dalam agama, terutama Islam di Indonesia. Menurut Megawati, radikalisme di lapangan bentuknya kekerasan, seraya menekankan bahwa kekerasan tidak menyelesaikan persoalan namun malah memunculkan persoalan. “Kami ingin, di Indonesia ini kalangan beragamanya tentu harus bisa saling mengenal, saling berkomunikasi, dan tercermin dalam sikap-sikap begitu,” tandas Megawati. Pelantikan Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia (PP Bamusi) dihadiri antara lain Dewan Pembina, H.M. Taufiq Kiemas yang juga Ketua MPR-RI, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, yang juga merupakan salah satu Dewan Pembina PP Baitul Muslimin, Sekjen PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, Sekretaris Dewan Penasehat, Achmad Basarah yang juga anggota FPDI Perjuangan DPR-RI, Amir Moeis dan Maruarar Sirait. Berikut Struktur, Komposisi dan Personalia Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia (PP Bamusi) yang masa baktinya mengikuti masa bakti DPP PDI Perjuangan, yakni 2010-2015: I. DEWAN PEMBINA : HJ. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Prof. Dr. SYAFI’I MA’ARIF H.M. TAUFIQ KIEMAS Prof. Dr. K.H. SAID AGIL SIRADJ II. DEWAN PENASEHAT Ketua: Mayjen TNI (Purn) H. CHOLID GHOZALI Sekretaris: Drs. ACHMAD BASARAH, MH Anggota: H. NABIEL MAKARIM Prof. Dr. H. ROKHMIN DHAHURI K.H. BASRI ANANDA dr. H. JUDILHERRY JUSTAM, MA Dr. H. MARWAH M. DIAH, SH, MPA H. MOH. SOBARI MH. SAID ABDULLAH H. IRMADI LUBIS H. ZAINUN AHMADI, SH III. PENGURUS PUSAT KETUA UMUM: Prof. Dr. H. HAMKA HAQ, MA Ketua Bidang Kesejahteraan Umat: SRI RAHAYU Ketua Bidang Keanggotaan/Organisasi: IRVANSYAH, S.IP, M.Si Ketua Bidang Politik: H. ERWIN MOESLIMIN SINGAJURU, SH Ketua Bidang Antar Agama: H. ZUHAIRI MISRAWI Ketua Bidang Dakwah: HELMI HIDAYAT, MA Ketua Bidang Humas dan Media: HAMID BASYAIB Ketua Bidang Kaderisasi/Pelatihan: Ir. ABIDIN FIKRI, SH Ketua Bidang Pendidikan: INDAH NATAPRAWIRA, M.Si Ketua Bidang Hubungan Internasional: FAUZAN AMAR, SH Ketua Bidang Pemberdayaan Muslimat: NAYLA RAGUAN AL-JUFRI, MA Ketua Bidang Ekonom Umat: MAHMUDDIN MUSLIM, SE, M.Si Ketua Bidang Wirausaha: Ir. BUDYARTO LINGGOWIYONO Ketua Bidang Kebudayaan: MUKHLIS PATAHNA, SH, MA Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga: Drs. EDY KUSCAHYANTO Ketua Bidang Pemberdayaan Politik: IDHAM CHOLIED Ketua Bidang Pemuda dan Mahasiswa: H. NASHIRUL FALAH AMRU, SE SEKRETARIS JENDERAL: NURMANSYAH TANJUNG, SE Wakil Sekretaris I: MASKUT CHANDRANEGARA, S.Sos Wakil Sekretaris II: RAHMANI YAHYA Wakil Sekretaris III: HARI APRIATNO, SE, MBA Wakil Sekretaris IV: SUKMA RAGIL SAPUTRA, SE Wakil Sekretaris V: AGUS SUSILO Wakil Sekretaris VI: H. MOHAMMAD NOVA ANDIKA, SE, ME BENDAHARA UMUM: ANDI RIDWAN WITTIRI Wakil Bendahara I: Ir. YUDI SUTARNO Wakil Bendahara II: ALIAH MAISARAH, S.Sos Wakil Bendahara III: RUSLAN ABDUL GHANI Wakil Bendahara IV: AHMAD SALADIN, S.Sos Wakil Bendahara V: MUHAMMAD ARFAN, SE, M.Si Selain itu, pada pertengahan Oktober 2011, Kantor Sekretariat Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia pindah ke Jl. Pancoran Timur No. 41 Perdatam Pancoran Jakarta Selatan 12770; Telp. (021) 7974680, Email: ppbaitulmuslimin@gmail.com http://pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=74&Itemid=124 |
Monday, April 1, 2013
Filantropi untuk Masyarakat Madani
Republika, Sabtu, 26 Juni 2004
http://www.republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16
Oleh : Ahmad Najib Burhani
"Sangat banyak organisasi non-profit yang secara finansial stagnan. Mereka menggali dan mendistribusikan dana dengan cara yang sama selama beberapa dekade.... Secara definisi, organisasi non-profit yang mencari profit terlihat seakan kontradiktif. Namun sebetulnya tidak demikian." Bill Shore, Revolution of the Heart
Tulisan Azyumardi Azra di Resonansi Republika (17/6) yang berjudul "Filantropi untuk Keadilan Sosial" sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Tulisan itu di antaranya mempertanyakan nasib LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Indonesia jika lembaga-lembaga donor dari luar negeri menghentikan bantuannya. Resonansi itu juga menyinggung tentang independensi LSM-LSM yang memiliki ketergantungan kuat kepada pihak asing. Menarik untuk dikaji juga karena tulisan itu menyinggung tentang besarnya potensi dana dari bangsa Indonesia sendiri untuk menggerakkan LSM-LSM.
Potensi dana dari bangsa Indonesia yang dimaksudkan oleh tulisan Rektor UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta itu terutama adalah dana zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah
> (Ziswah). Pertanyaannya adalah berkaitan dengan pemanfaatan dana
> Ziswah itu untuk hal-hal yang di luar metode tradisional dalam
> pendistribusian dan pemanfaatan Ziswah. Pertanyaan lain yang tak
> kalah penting adalah bagaimana caranya agar dana Ziswah itu tidak
> berfungsi semata konsumtif atau jangka pendek, tapi dana revolving,
> produktif, berkembang, berfungsi maksimal dan membantu sebanyak-
> banyaknya masyarakat.
>
> Dalam pemahaman dan praktik tradisional, pemanfaatan dana zakat,
> infak, dan sedekah (Zis) biasanya ditekankan pada fungsi relief
atau
> diberikan langsung dalam bentuk uang dan makanan. Sementara wakaf,
> biasanya hanya dalam bentuk tanah dan digunakan untuk pembangunan
> masjid atau madrasah. Delapan kelompok yang berhak menerima zakat
> (ashnaf) yang terdiri dari fakir, miskin, amil, gharim (orang yang
> berhutang), mualaf, ibnu sabil, sabilillah, dan budak biasanya
> menerima langsung bantuan tanpa tersistematisasikan dengan baik.
Ini
> adalah model pemahaman skripturalis atau tekstualis dari ajaran
> agama. Memang, cara-cara tradisional itu masih perlu dilakukan
dalam
> konteks masyarakat di Indonesia.
>
> Banyak warga negeri ini yang masih membutuhkan bantuan yang
bersifat
> segera. Namun cara ini harus diiringi dengan upaya-upaya
pemberdayaan
> atau pengentasan kemiskinan yang sistematis. Pemberdayaan itu
> dilakukan agar orang-orang yang lemah bisa terentaskan dari
> kemiskinannya secara permanen, bahkan meningkat statusnya menjadi
> muzakki (orang yang berzakat), bukan mustahik (penerima zakat)
lagi.
> Terlebih lagi, potensi dana zakat yang menurut Zaim Saidi (2003)
> mencapai Rp 7,5 triliun per tahun tentu sulit untuk bisa membantu
> banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Berdasarkan laporan
Bank
> Dunia, dengan garis kemiskinan yang digunakan adalah 2 dolar per
> hari, maka pada tahun 2002, sekitar 55,1 persen dari penduduk
> Indonesia masuk dalam kategori miskin. Dari angka itu dapat
diketahui
> bahwa lebih dari 100 juta penduduk Indonesia adalah orang-orang
yang
> berhak menerima bantuan dari harta zakat yang potensinya mencapai
Rp
> 7,5 triliun tersebut.
>
> Upaya-upaya pemberdayaan
> Sebetulnya, praktik dan program pemberdayaan untuk mewujudkan
> keadilan sosial telah dilakukan oleh beberapa lembaga dengan
> menggunakan dana Ziswah. Hanya saja informasi ini belum banyak
> diketahui oleh masyarakat. Di samping karena informasi tentang
> penggunaan dana Ziswah di media massa dan laporan-laporan
penelitian
> lebih ditekankan pada kegiatan yang bersifat charity atau services
> (pelayanan), lembaga-lembaga pengelola Ziswah sendiri juga sangat
> minim mengungkapkan kegiatan-kegiatan pemberdayaan mereka kepada
> publik.
>
> Dompet Dhuafa Republika (DDR), misalnya, memiliki beberapa program
> pemberdayaan masyarakat. Program-program itu di antaranya adalah
> Ittara (Industri Tepung Tapioka Rakyat), TDS (Ternak Domba Sehat),
> Lembaga Keuangan Mikro yang berupa BMT (Baitul Maal Wattamwil),
> Swalayan, Depo Pengasong dan Grosir, Masyarakat Mandiri (MM), UHT
> (Usaha Hasil Tani), Budidaya Pisang Terpadu, dan Toko Amanah Liwa.
> Bahkan, LSM ini menyalurkan lebih dari 50 persen dana yang
> diterimanya untuk program-program pengentasan kemiskinan melalui
> upaya pemberdayaan.
>
> Meski memberikan penekanan pada aspek ekonomi, namun pemberdayaan
itu
> ditujukan juga kepada aspek kehidupan yang lain, seperti agama,
> politik, dan sosial. DDR berusaha untuk menciptakan pemberdayaan
yang
> bersifat terpadu. Masyarakat diberi modal dan dilatih untuk
mandiri.
> Mereka juga dididik untuk memiliki dan mengembangkan nilai
kejujuran,
> kerja keras, dan bertanggung jawab. Tanpa upaya pemberdayaan yang
> terpadu, maka kemandirian masyarakat yang tercipta akan mudah roboh
> lagi. Program Masyarakat Mandiri (MM), misalnya, ditujukan untuk
> memberdayakan masyarakat paling miskin di suatu daerah tertentu.
>
> Pada awalnya, program ini dilaksanakan di 10 desa di wilayah
Jakarta,
> Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Namun saat ini baru empat desa yang
> berhasil diberdayakan, yaitu desa Rancalabuh (Tangerang), Buana
Jaya
> (Bogor), Suka Wijaya (Bekasi), dan Muara (Teluk Naga). Kegiatan
yang
> dilakukan di desa-desa itu antara lain pelatihan, pemberian mikro
> kredit, dan advokasi, atau pendampingan secara intensif. Dari
proses
> awal memasuki desa-desa tersebut hingga mereka menjadi mandiri
> diperlukan waktu lebih dari 4 (empat) tahun.
>
> Kini desa Rancalabuh, misalnya, telah menjadi daerah peternakan
bebek
> dan penghasil telur bebek yang cukup maju dan produktif, di samping
> memiliki usaha-usaha lain yang mampu membebaskan masyarakat dari
> kemiskinan. Program-program yang dilakukan oleh DDR di atas adalah
> program-program ekonomi riil dan banyak persamaannya dengan program-
> program yang dilakukan oleh LSM-LSM.
>
> Bedanya, program-program yang dilakukan oleh DDR didanai oleh
> masyarakat Indonesia sendiri, tidak bergantung pada bantuan asing
> yang kadang dicurigai memiliki kepentingan-kepentingan tertentu.
> Program-program itu tidak saja berhasil menciptakan kesejahteraan
> ekonomi orang-orang miskin, tapi juga meningkatkan kesalehan hidup
> mereka, kesadaran terhadap demokrasi, dan juga kepedulian untuk
ikut
> membebaskan saudara-saudaranya yang masih dalam kondisi papa.
Social
> entrepreneurship (SE) Sekarang, bagaimana caranya agar dana sosial
> itu bisa revolving, produktif, dan mampu membebaskan masyarakat
> miskin sebanyak-banyaknya?
>
> Bila sumbangan dari negara-negara asing bisa berhenti, maka dana
> zakat sebetulnya tak bisa berhenti selama umat Islam masih ada.
> Persoalannya adalah bagaimana agar dana zakat yang potensinya Rp
7,5
> triliun itu bisa, idealnya, membebaskan lebih dari 100 juta
penduduk
> miskin di Indonesia. Dalam konteks dana sosial non-Ziswah,
bagaimana
> fungsi sosial tetap dijalankan, namun dana tidak habis terpakai,
tapi
> justru terus berkembang. Dari sinilah lantas berkembang konsep
> tentang social entrepreneurship (SE) atau kewirausahaan sosial.
> Istilah SE adalah istilah baru, diciptakan pada dekade belakangan
> ini.
>
> Namun demikian, ide dan praktik-praktik SE sudah diterapkan sejak
> dahulu. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan tentang
penggunaan
> prinsip-prinsip bisnis atau wirausaha dalam praktik-praktik
> pengabdian sosial, memperlakukan usaha dan lembaga sosial dengan
> pendekatan bisnis, menggabungkan kesabaran dalam menjalankan misi
> sosial dengan agresivitas dan ambisi dalam wirausaha. Prinsip-
prinsip
> wirausaha itu dinilai sebagai cara yang efektif dan efisien dalam
> mengemban misi sosial sehingga hasilnya bisa maksimal dan
menjangkau
> target yang luas.
>
> Lantas, apa perbedaan antara social entrepreneurship (SE) dan
> business entrepreneurship (BE)? Orientasi dari BE adalah materi,
> uang, dan keuntungan pribadi. Sementara orientasi SE adalah misi
> sosial. Di sini, tempat misi sosial adalah sangat sentral. Kriteria
> keberhasilannya bukan seberapa banyak kekayaan dan harta yang
> dimiliki, tapi seberapa besar dampak sosial yang diraih. Kekayaan
dan
> materi itu hanyalah sarana untuk mencapai misi sosial. Lagi-lagi
> upaya yang dilakukan oleh DDR perlu dijadikan contoh. Ittara
> (Industri Tepung Tapioka Rakyat), TDS (Ternak Domba Sehat), Depo
> Pengasong dan Grosir, UHT (Usaha Hasil Tani), dan Budidaya Pisang
> Terpadu adalah beberapa program milik DDR yang memiliki kemiripan
> dengan SE.
>
> Usaha-usaha itu memang menghasikan kekayaan. Namun kekayaan itu
> ditujukan kepada orang-orang miskin yang menjadi konstituennya.
> Ittara, misalnya, pada awalnya adalah industri tepung tapioka milik
> masyarakat Lampung yang tertatih-tatih dan mau mati. DDR lantas
> memberi modal, pelatihan, dan bantuan pengelolaan. Industri ini
> menggunakan tenaga-tenaga orang miskin yang ada di sekitar lokasi
> pabrik. Melalui proses yang panjang, akhirnya Ittara mampu bersaing
> dengan industri-industri besar milik para konglomerat dan menjadi
> percontohan di daerah Lampung.
http://www.republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16
Oleh : Ahmad Najib Burhani
"Sangat banyak organisasi non-profit yang secara finansial stagnan. Mereka menggali dan mendistribusikan dana dengan cara yang sama selama beberapa dekade.... Secara definisi, organisasi non-profit yang mencari profit terlihat seakan kontradiktif. Namun sebetulnya tidak demikian." Bill Shore, Revolution of the Heart
Tulisan Azyumardi Azra di Resonansi Republika (17/6) yang berjudul "Filantropi untuk Keadilan Sosial" sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Tulisan itu di antaranya mempertanyakan nasib LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Indonesia jika lembaga-lembaga donor dari luar negeri menghentikan bantuannya. Resonansi itu juga menyinggung tentang independensi LSM-LSM yang memiliki ketergantungan kuat kepada pihak asing. Menarik untuk dikaji juga karena tulisan itu menyinggung tentang besarnya potensi dana dari bangsa Indonesia sendiri untuk menggerakkan LSM-LSM.
Potensi dana dari bangsa Indonesia yang dimaksudkan oleh tulisan Rektor UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta itu terutama adalah dana zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah
> (Ziswah). Pertanyaannya adalah berkaitan dengan pemanfaatan dana
> Ziswah itu untuk hal-hal yang di luar metode tradisional dalam
> pendistribusian dan pemanfaatan Ziswah. Pertanyaan lain yang tak
> kalah penting adalah bagaimana caranya agar dana Ziswah itu tidak
> berfungsi semata konsumtif atau jangka pendek, tapi dana revolving,
> produktif, berkembang, berfungsi maksimal dan membantu sebanyak-
> banyaknya masyarakat.
>
> Dalam pemahaman dan praktik tradisional, pemanfaatan dana zakat,
> infak, dan sedekah (Zis) biasanya ditekankan pada fungsi relief
atau
> diberikan langsung dalam bentuk uang dan makanan. Sementara wakaf,
> biasanya hanya dalam bentuk tanah dan digunakan untuk pembangunan
> masjid atau madrasah. Delapan kelompok yang berhak menerima zakat
> (ashnaf) yang terdiri dari fakir, miskin, amil, gharim (orang yang
> berhutang), mualaf, ibnu sabil, sabilillah, dan budak biasanya
> menerima langsung bantuan tanpa tersistematisasikan dengan baik.
Ini
> adalah model pemahaman skripturalis atau tekstualis dari ajaran
> agama. Memang, cara-cara tradisional itu masih perlu dilakukan
dalam
> konteks masyarakat di Indonesia.
>
> Banyak warga negeri ini yang masih membutuhkan bantuan yang
bersifat
> segera. Namun cara ini harus diiringi dengan upaya-upaya
pemberdayaan
> atau pengentasan kemiskinan yang sistematis. Pemberdayaan itu
> dilakukan agar orang-orang yang lemah bisa terentaskan dari
> kemiskinannya secara permanen, bahkan meningkat statusnya menjadi
> muzakki (orang yang berzakat), bukan mustahik (penerima zakat)
lagi.
> Terlebih lagi, potensi dana zakat yang menurut Zaim Saidi (2003)
> mencapai Rp 7,5 triliun per tahun tentu sulit untuk bisa membantu
> banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Berdasarkan laporan
Bank
> Dunia, dengan garis kemiskinan yang digunakan adalah 2 dolar per
> hari, maka pada tahun 2002, sekitar 55,1 persen dari penduduk
> Indonesia masuk dalam kategori miskin. Dari angka itu dapat
diketahui
> bahwa lebih dari 100 juta penduduk Indonesia adalah orang-orang
yang
> berhak menerima bantuan dari harta zakat yang potensinya mencapai
Rp
> 7,5 triliun tersebut.
>
> Upaya-upaya pemberdayaan
> Sebetulnya, praktik dan program pemberdayaan untuk mewujudkan
> keadilan sosial telah dilakukan oleh beberapa lembaga dengan
> menggunakan dana Ziswah. Hanya saja informasi ini belum banyak
> diketahui oleh masyarakat. Di samping karena informasi tentang
> penggunaan dana Ziswah di media massa dan laporan-laporan
penelitian
> lebih ditekankan pada kegiatan yang bersifat charity atau services
> (pelayanan), lembaga-lembaga pengelola Ziswah sendiri juga sangat
> minim mengungkapkan kegiatan-kegiatan pemberdayaan mereka kepada
> publik.
>
> Dompet Dhuafa Republika (DDR), misalnya, memiliki beberapa program
> pemberdayaan masyarakat. Program-program itu di antaranya adalah
> Ittara (Industri Tepung Tapioka Rakyat), TDS (Ternak Domba Sehat),
> Lembaga Keuangan Mikro yang berupa BMT (Baitul Maal Wattamwil),
> Swalayan, Depo Pengasong dan Grosir, Masyarakat Mandiri (MM), UHT
> (Usaha Hasil Tani), Budidaya Pisang Terpadu, dan Toko Amanah Liwa.
> Bahkan, LSM ini menyalurkan lebih dari 50 persen dana yang
> diterimanya untuk program-program pengentasan kemiskinan melalui
> upaya pemberdayaan.
>
> Meski memberikan penekanan pada aspek ekonomi, namun pemberdayaan
itu
> ditujukan juga kepada aspek kehidupan yang lain, seperti agama,
> politik, dan sosial. DDR berusaha untuk menciptakan pemberdayaan
yang
> bersifat terpadu. Masyarakat diberi modal dan dilatih untuk
mandiri.
> Mereka juga dididik untuk memiliki dan mengembangkan nilai
kejujuran,
> kerja keras, dan bertanggung jawab. Tanpa upaya pemberdayaan yang
> terpadu, maka kemandirian masyarakat yang tercipta akan mudah roboh
> lagi. Program Masyarakat Mandiri (MM), misalnya, ditujukan untuk
> memberdayakan masyarakat paling miskin di suatu daerah tertentu.
>
> Pada awalnya, program ini dilaksanakan di 10 desa di wilayah
Jakarta,
> Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Namun saat ini baru empat desa yang
> berhasil diberdayakan, yaitu desa Rancalabuh (Tangerang), Buana
Jaya
> (Bogor), Suka Wijaya (Bekasi), dan Muara (Teluk Naga). Kegiatan
yang
> dilakukan di desa-desa itu antara lain pelatihan, pemberian mikro
> kredit, dan advokasi, atau pendampingan secara intensif. Dari
proses
> awal memasuki desa-desa tersebut hingga mereka menjadi mandiri
> diperlukan waktu lebih dari 4 (empat) tahun.
>
> Kini desa Rancalabuh, misalnya, telah menjadi daerah peternakan
bebek
> dan penghasil telur bebek yang cukup maju dan produktif, di samping
> memiliki usaha-usaha lain yang mampu membebaskan masyarakat dari
> kemiskinan. Program-program yang dilakukan oleh DDR di atas adalah
> program-program ekonomi riil dan banyak persamaannya dengan program-
> program yang dilakukan oleh LSM-LSM.
>
> Bedanya, program-program yang dilakukan oleh DDR didanai oleh
> masyarakat Indonesia sendiri, tidak bergantung pada bantuan asing
> yang kadang dicurigai memiliki kepentingan-kepentingan tertentu.
> Program-program itu tidak saja berhasil menciptakan kesejahteraan
> ekonomi orang-orang miskin, tapi juga meningkatkan kesalehan hidup
> mereka, kesadaran terhadap demokrasi, dan juga kepedulian untuk
ikut
> membebaskan saudara-saudaranya yang masih dalam kondisi papa.
Social
> entrepreneurship (SE) Sekarang, bagaimana caranya agar dana sosial
> itu bisa revolving, produktif, dan mampu membebaskan masyarakat
> miskin sebanyak-banyaknya?
>
> Bila sumbangan dari negara-negara asing bisa berhenti, maka dana
> zakat sebetulnya tak bisa berhenti selama umat Islam masih ada.
> Persoalannya adalah bagaimana agar dana zakat yang potensinya Rp
7,5
> triliun itu bisa, idealnya, membebaskan lebih dari 100 juta
penduduk
> miskin di Indonesia. Dalam konteks dana sosial non-Ziswah,
bagaimana
> fungsi sosial tetap dijalankan, namun dana tidak habis terpakai,
tapi
> justru terus berkembang. Dari sinilah lantas berkembang konsep
> tentang social entrepreneurship (SE) atau kewirausahaan sosial.
> Istilah SE adalah istilah baru, diciptakan pada dekade belakangan
> ini.
>
> Namun demikian, ide dan praktik-praktik SE sudah diterapkan sejak
> dahulu. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan tentang
penggunaan
> prinsip-prinsip bisnis atau wirausaha dalam praktik-praktik
> pengabdian sosial, memperlakukan usaha dan lembaga sosial dengan
> pendekatan bisnis, menggabungkan kesabaran dalam menjalankan misi
> sosial dengan agresivitas dan ambisi dalam wirausaha. Prinsip-
prinsip
> wirausaha itu dinilai sebagai cara yang efektif dan efisien dalam
> mengemban misi sosial sehingga hasilnya bisa maksimal dan
menjangkau
> target yang luas.
>
> Lantas, apa perbedaan antara social entrepreneurship (SE) dan
> business entrepreneurship (BE)? Orientasi dari BE adalah materi,
> uang, dan keuntungan pribadi. Sementara orientasi SE adalah misi
> sosial. Di sini, tempat misi sosial adalah sangat sentral. Kriteria
> keberhasilannya bukan seberapa banyak kekayaan dan harta yang
> dimiliki, tapi seberapa besar dampak sosial yang diraih. Kekayaan
dan
> materi itu hanyalah sarana untuk mencapai misi sosial. Lagi-lagi
> upaya yang dilakukan oleh DDR perlu dijadikan contoh. Ittara
> (Industri Tepung Tapioka Rakyat), TDS (Ternak Domba Sehat), Depo
> Pengasong dan Grosir, UHT (Usaha Hasil Tani), dan Budidaya Pisang
> Terpadu adalah beberapa program milik DDR yang memiliki kemiripan
> dengan SE.
>
> Usaha-usaha itu memang menghasikan kekayaan. Namun kekayaan itu
> ditujukan kepada orang-orang miskin yang menjadi konstituennya.
> Ittara, misalnya, pada awalnya adalah industri tepung tapioka milik
> masyarakat Lampung yang tertatih-tatih dan mau mati. DDR lantas
> memberi modal, pelatihan, dan bantuan pengelolaan. Industri ini
> menggunakan tenaga-tenaga orang miskin yang ada di sekitar lokasi
> pabrik. Melalui proses yang panjang, akhirnya Ittara mampu bersaing
> dengan industri-industri besar milik para konglomerat dan menjadi
> percontohan di daerah Lampung.
Subscribe to:
Posts (Atom)